METAMORFOSIS

:::Hanya catatan kecil & kliping artikel:::

More About Me...

hanya seorang anak manusia yang sedang belajar memaknai hidup, tapi ada yang pernah bilang "jangan hanya bisa mencari makna, tapi lakukan sesuatu untuk menemukannya", dan ada lagi yang bilang bahwa manusia yang hanya berorientasi pada makna maka dia akan selalu terjebak di masa lalunya dan selalu ragu dengan masa depannya. akhirnya saya memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya, biar lebih hidup!

Another Tit-Bit...

seseorang pernah mengatakan "kalo ada sesuatu yang bisa dilakukan sekecil apapun, jika diawali dengan baik mungkin hasilnya akan besar"

Showing posts with label Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Psikologi. Show all posts

Memupuk Rasa Percaya Diri


Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Ruang konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, “dulu saya tidak penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi begini ?” ada juga yang berkata: "kok saya tidak seperti dia,...yang selalu percaya diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya malu menjadi diri saya!”

Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.

Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

Karakteristik

Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah :

  • Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
  • Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
  • Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri
  • Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
  • Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
  • Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
  • Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:

  • Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
  • Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
  • Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
  • Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
  • Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
  • Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
  • Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
  • Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)

Perkembangan Rasa Percaya Diri

Pola Asuh

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.

Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri – segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.

Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.

Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri – mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.

Pola Pikir Negatif

Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:

  • Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri (“saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu”). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
  • Cara berpikir totalitas dan dualisme : “kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek”
  • Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
  • Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
  • Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”...”saya ditakdirkan untuk jadi orang susah”, dsb....
  • Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain : ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
  • Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.

Memupuk Rasa Percaya Diri

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.

1.

Evaluasi diri secara obyektif

Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.

2.

Beri penghargaan yang jujur terhadap diri

Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri – hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.

3.

Positive thinking

Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody’s perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.

4.

Gunakan self-affirmation

Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:

  • Saya pasti bisa !!
  • Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
  • Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
  • Sayalah yang memegang kendali hidup ini
  • Saya bangga pada diri sendiri

5.

Berani mengambil resiko

Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.

6.

Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan

Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan “beban” seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat “cemburu” hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.

7.

Menetapkan tujuan yang realistik

Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.

Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal serpti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.

Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb – namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter – memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa. (jp)

Oleh Jacinta F. Rini Team e-psikologi

Depresi dan Reformasi Diri


Apa yang menyebabkan kita sampai menderita depresi? Sejauh depresi itu diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang (stress berkelanjutan) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, makna hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan-diri (losing mood and confidence), tentu saja sebab-sebabnya banyak. Namanya juga orang hidup. Realitas kehidupan ini terkadang lebih kejam dari kekejaman yang sanggup kita bayangkan.

Secara garis besar kita bisa mengatakan bahwa depresi bisa terjadi di - “stimulasi” oleh keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu di luar kontrol kita. Mengapa di “stimulasi” ? Perlu digarisbawahi di sini, bahwa kondisi emosi – psikologis masing-masing orang turut menentukan apakah sesuatu itu dapat menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai depresi) – atau, seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi depresinya.

Katakanlah di sini misalnya kematian orang-orang tercinta atau bencana alam yang menyisakan kenangan-kenangan traumatik. Bila ini berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan kita kehilangan mood, kehilangan gairah untuk melangkah, kehilangan kepercayaan diri, maka trauma itu berubah menjadi depresi. Kita kehilangan daya tarik untuk menjadikan hidup kita menjadi lebih hidup dan kehilangan semangat untuk menjalankan aktivitas positif.

Depresi juga bisa muncul akibat perlakuan orang lain yang buruk pada kita. Seorang karyawan akan merasa tertekan apabila mendapati kondisi kerja dan gaya manajemen di tempat kerja yang menekan (stressful). Jika dia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan lain ke mana-mana namun belum mendapatkan dan ditambah lagi dengan cara yang tidak kreatif dalam menghadapi realitas semacam itu, mungkin saja si karyawan itu akan terkena depresi. Depresi bisa tumbuh dari stress kerja yang berlangsung lama.

Depresi bisa juga terjadi pada seseorang setelah dianiaya orang lain, misalnya pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga. Peristiwa buruk itu akan membuka kemungkinan terhadap depresi. Atau juga bisa terjadi pada orang yang sehabis terkena kebijakan PHK. Kehilangan pekerjaan dapat membuat kita stress (kehilangan status, kehilangan sumber penghasilan, dst) dan bila kita sudah mencari pengganti pekerjaan itu kemana-mana dan ternyata belum membuahkan hasil, stress itu akan berubah menjadi depresi. Depresi di sini adalah tekanan batin yang serius ditandai dengan kesedihan dan kekosongan (feeelings of sadness or emptiness).

Depresi juga muncul karena ulah kita sendiri. Ulah di sini ada yang berbentuk penyimpangan / pelanggaran atau ada yang berbentuk pengabaian. Hampir seluruh tindak penyimpangan atau pelanggaran atas apa yang benar di dunia ini dalam skala / ukuran yang besar, umumnya akan melahirkan konsekuensi yang “uncontrollable”. Bila konsekuensi buruk itu terjadi dan merembet kemana-mana dan semuanya menjadi pilihan buruk buat kita, ini juga bisa menimbulkan depresi. Karena itu banyak penderita NAPZA yang berkesimpulan bahwa kesembuhannya itu berkat mukjizat. Ini karena sedemikian sulitnya membayangkan bagaiman melepaskan diri dari ketergantungan dan dari konsekuensi buruk lainnya yang terkait dengan itu.

Demikian juga dengan pengabaian. Pengabaian terhadap diri sendiri, misalnya punya potensi tetapi tidak dikembangkan, punya pekerjaan tetapi tidak disyukuri (dijadikan lahan untuk meningkatkan diri), punya resource tetapi tidak digunakan, dan lain-lain, ini juga bisa menimbulkan depresi. Jadi, bukan pengabaiannya yang menyebabkan depresi tetapi konsekuensi pengabaian itulah yang membuat orang menjadi depresi. Kita mulai merasa tidak ada artinya bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika perasaan ini terus menggunung, ya lama kelamaan akan menimbulkan depresi. Karena itu ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa depresi bisa saja terjadi tanpa harus didahului peristiwa buruk yang tragis dan dramatik. Problem personal yang kecil-kecil namun diabaikan bisa saja akan mengundang depresi..

Meski kita ingin segera dapat mengatasi depresi, tetapi tak jarang kita malah mempraktekkan hal-hal yang memperparah depresi itu. Ini antara lain bisa dijabarkan sebagai berikut:

1. Hanya mencari-cari tip, saran atau tehnik yang jitu untuk mengatasi depresi. Tip dari buku, saran dan tehnik dari orang lain itu sangat kita butuhkan tetapi posisinya di sini bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pembantu (bantuan. Kita membutuhkan semua itu tetapi tidak boleh mengandalkan pada semuanya. Artinya, tip dan saran itu akan berguna ketika kita dalam keadaan sedang berusaha untuk mengatasi depresi dan tidak berguna kalau kita duduk dan diam saja.

2. Tidak percaya, menolak atau skeptis terhadap saran, pendapat atau bantuan orang lain. Ini adalah bentuk padanan yang ekstrim dari yang pertama. Menutup diri, menutup-nutupi, melecehkan semua orang atau menjauhi orang kerapkali justru akan membuat kita semakin ‘depressed’ dengan keadaan kita.

3. Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat kita depresi itu adalah dunia ini yang telalu kejam atau orang lain. Tetapi akan malah berbahaya kalau yang kita ingat dan yang kita lakukan adalah hanya mengutuk dunia dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam diri kita untuk mengobati diri sendiri.

4. Kurang kreatif dalam menemukan cara atau terlalu “taat” pada rutinitas yang biasa-biasa. Ini juga bisa membuat depresi itu makin mendalam. Ada saran agar kita membagi aktivitas menjadi tiga: a) aktivitas positif yang wajib, b) aktivitas yang untuk fun atau pleasurable, dan c) aktivitas yang untuk menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung hubungan.

5. Membiarkan munculnya definisi diri negatif, misalnya saja: saya sudah tidak punya apa-apa lagi, saya muak melihat diri saya, hidup saya sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi, dan seterusnya. Ini adalah definisi atau kesimpulan atau label tentang diri sendiri yang kita buat sendiri. Jika ini terus berlanjut akan mempersulit upaya recovery.

6. Menolak realitas dengan cara yang merugikan. Realitas itu kalau ditolak dengan tujuan menolak yang asal menolak (denial), ini akan memperparah pertengkaran yang membuat depresi itu makin mencengkeram. Tetapi bila kita terima dengan pasrah dan kalah (larut dan hanyut), ini juga tidak menyembuhkan. Yang diharapkan adalah menerima untuk memperbaiki. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, “ Trauma yang abadi di adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.”

7. Menganut paham perfeksionis yang tidak rasional. Dari pengalaman sejumlah ahli dalam menangai penderita depresi, konon yang menghambat upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus bebas dari depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot-repot. Mengatasi depresi butuh proses yang berkelanjutan, dan jika kita menolak proses itu bukan malah cepat tetapi malah semakin lama.

Tujuh hal di atas dapat kita gunakan untuk menjelaskan realitas di mana ada orang yang semakin buruk langkahnya, makin buruk hubungannya dan makin buruk caranya dalam menghadapi hidup saat depresi. Anda mungkin punya teman, keluarga atau tetangga yang malah semakin tertutup, semakin tidak persuasif, semakin tidak bijak, semakin sempit, semakin tertutup dan sejumlah “semakin” yang negatif lainnya.

Tetapi ada juga sekelompok orang yang mulai menunjukkan bukti-bukti perbaikan diri, perbaikan hubungan dan perbaikan cara dalam menghadapi realitas. Semakin jelas langkah yang ditempuh, semakin open dan bijak, semakin bisa memilih orang, semakin ramah, semakin soleh hidupnya, dan seterusnya. Sebisa mungkin kita perlu berjuang untuk menjadi manusia kelompok kedua.

Agenda Reformasi

Secara umum, agenda reformasi itu bisa kita buat berdasarkan poin-poin berikut ini:

1. Membangun citra diri positif

Citra diri berasal dari bagaimana kita menyimpulkan diri sendiri atau beropini tentang diri sendiri. Yang positif membuahkan citra positif. Untuk membangun yang positif ini diperlukan tiga hal:

§ Anda perlu menciptkan definisi, opini atau kesimpulan yang positif

§ Anda perlu melawan munculnya opini, definisi atau kesimpulan negatif dengan cara menghentikan, mengganti atau membatalkan

§ Anda perlu menciptakan alasan-alasan faktual, bukti nyata untuk mendukung kesimpulan positif yang Anda ciptakan

Sedikit tentang alasan faktual itu, saya ingin memberi contoh misalnya saja Anda berkesimpulan bahwa hidup Anda memang masih bermakna (untuk diri sendiri dan untuk orang lain). Kesimpulan ini lebih positif ketimbang Anda punya kesimpulan yang sebaliknya. Tetapi jika yang Anda lakukan hanya sebatas merasa atau menyimpulkan (tanpa diiringi dengan perbuatan dan hasil atau pembuktian bertahap), lama kelamaan kesimpulan Anda ini akan kalah oleh fakta yang ada tentang diri Anda. Jangan pernah berpikir bahwa perbaikan diri itu bisa ditempuh dengan cara tidak melakukan sesuatu. Forget it.

2. Menjalankan agenda perbaikan berkelanjutan yang realistis

Kesalahan kita saat terkena depresi adalah: kita hanya merasakan bagaimana depresi itu tetapi kurang berpikir tentang apa saja yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri di masa depan. Kita tenggelam ke dalam masa lalu yang buruk dan lupa meng-imajinasi-kan masa depan yang lebih bagus. Padahal, masa lalu itu sudah tidak bisa diubah. Padahal, masa depan itu masih “open” buat kita. Agar ini tidak terjadi, Anda boleh memilih agenda perbaikan di bawah ini:

§ Anda merencanakan program atau jadwal tentang apa yang perlu anda lakukan dan apa yang perlu Anda hindari agar hidup Anda menjadi lebih bagus di hari esok berdasarkan keadaan Anda.

§ Anda mencanangkan target yang benar-benar ingin Anda raih sebagai bukti adanya perbaikan dalam diri Anda, misalnya mendapatkan pekerjaan, mendapatkan orang yang lebih bagus, mendapatkan tempat yang lebih bagus, dan seterusnya.

§ Anda merumuskan tujuan jangka pendek atau panjang yang ingin Anda wujudkan, seperti misalnya menyelesaikan kuliah, meningkatkan penguasaan bidang, menambah pengetahuan atau skill, dan lain-lain

Tiga hal di atas perlu dilakukan dengan catatan harus realistis: bisa dilakukan dari mulai hari ini, dengan menggunakan sumber daya yang sudah ada, dan dari lokasi hidup di mana Anda saat ini berada. Hindari membuat program atau target yang “mengkhayal” atau hanya berfantasi atau terlalu tinggi sehingga tidak bisa dilakukan dan tidak bisa diraih.

3. Menggunakan ketidakpuasan

Saat depresi, pasti kita tidak puas dengan hidup kita. Ini bisa positif dan bisa negatif, tergantung bagaimana kita menggunakan. Bagaimana supaya bisa positif? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ketidakpuasan itu sebagai dorongan / motivasi unntuk melakukan sesuatu (menjalankan program, meraih target atau tujuan). Anda bisa menggunakan ketidakpuasan atas masa lalu dan hari ini sebagai pemacu untuk memperbaiki atau mengubah hari esok. Jika PHK telah membuat Anda depresi, jadikan itu sebagai motivasi untuk memperluas jaringan, memperbaiki skill, membangun karakter yang lebih positif, dan seterusnya. Ini jauh lebih positif ketimbang kita hanya merasakan depresi, mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

4. Memperbaiki / memperluas hubungan

Wilayah hubungan yang perlu diperbaiki adalah: a) hubungan dengan diri sendiri: control diri, meditasi, dialog diri, dll, b) hubungan dengan orang lain dan c) hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman). Memperbaiki hubungan dengan diri sendiri akan membuat kita cepat mengontrol atau menarik diri dari keadaan yang tidak menguntungkan kita. Kalau kita sadar bahwa kita sedang depresi dan sadar bahwa kita harus segera mengambil tindakan, tentunya ini akan beda persoalannya.

Memperbaiki hubungan dengan manusia akan membantu usaha yang kita lakukan dalam mengatasi depresi. Kita tetap harus ingat bahwa manusia itu bisa digolongkan menjadi dua: a) ada manusia yang menjadi sumber depresi buat kita, dan b) ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi. Yang kita butuhkan (sebanyak-banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan sampai kita menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia, atau tidak percaya pada semua manusia.

Bagaimana memperbaiki hubungan dengan Tuhan? Ada banyak cara untuk memperbaikinya, antara lain: a) meningkatkan iman, b) menjalankan ajaran agama yang kita pilih (formal dan non-formal) sampai benar-benar kita merasa dan meyakini ada semacam “kebersamaan”. Kebersamaan di sini bukan kebersamaan yang “halusinasi” (tidak berdasar dan tidak berefek), tetapi kebersamaan yang mendorong kita untuk melakukan hal positif dan menghindari hal negatif. Kebersamaan seperti ini akan memperkuat dan mencerahkan.

5. Mengganti paham “perfection” menjadi “excellence

Dengan bahasa yang sederhana dapat dijelaskan bahwa perfection adalah menuntut kesempurnaan (dari orang lain, dari diri sendiri dan dari dunia ini). Sementara, excellence adalah mengusahakan kesempurnaan secara bertahap, perbaikan berkelanjutan. Perfection lebih dekat pada keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan seperti ini lebih mudah terkena depresi pada saat kita ingin mengatasi depresi, misalnya saja kita tidak mau gagal lagi (kemungkinan untuk gagal itu selalu ada), kita anti toleransi terhadap kelemahan orang lain (semua orang punya kelemahan), dan seterusnya.

Menurut Susan Dunn, MA, (When Perfect Isn't Good Enough, www.selfgrowth.com, perfeksionis dapat mengakibatkan hal-hal buruk yang antara lain adalah: a) dapat mengantarkan kita pada isolasi diri, b)dapat mengantarkan kita menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup, c) dapat mengantarkan kita pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran hidup yang tepat, d) dapat mengantarkan kita pada kesalahan dalam menilai diri (overestimate), e) dapat mengantarkan kita menjadi orang kerdil yang sulit mempercayai orang lain.

(Ubaydillah,AN/e-psikologi.com)

Selamat mempraktekkan!




Reaksi Emosi Yang Muncul Akibat Perselingkuhan

Weni adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia merasa sangat terkejut dan syok ketika suaminya berterus terang padanya bahwa dirinya berselingkuh, meskipun sejak saat itu suaminya mengaku sudah menghentikan perbuatannya dan ingin kembali ke keluarganya karena merasa bersalah dan berdosa. Weni merasa dibohongi, dikhianati dan dibodohi oleh suami karena selama ini dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Jadi, Weni tidak habis pikir, kenapa selama ini sampai tidak tahu perbuatan suaminya itu, dan apa pula kesalahannya sampai sang suami tega mengkhianatinya !

Kesedihan dan kekecewaan itu benar-benar dirasakan secara mendalam oleh Weni, sampai dia sendiri akhirnya tidak mengerti kenapa setelah peristiwa itu tubuhnya sering bereaksi secara aneh. Seperti waktu sedang membaca majalah, tiba-tiba saja jantungnya berdetak keras sekali; atau ketika sedang masak, tiba-tiba ia merasa kaku dan tangannya tidak bisa digerakkan; pada waktu sedang menonton televisi, tiba-tiba saja tangannya berkeringat. Selain itu, Weni juga kehilangan nafsu makan dan berat badannya makin lama makin turun.

Weni sulit sekali melupakan apa yang sudah diperbuat oleh suami terhadapnya. Berkali-kali muncul dalam pikiran bayangan ketika suaminya sedang bermesra-mesraan dengan selingkuhannya, atau sedang makan malam berdua, ketika suaminya sedang memeluk dan memegang tangannya, apalagi ketika tidak pulang dengan alasan ada tugas ke luar kota….membayangkan apa yang terjadi di antara mereka semakin membuat perasaan Weni hancur dan tersayat. Weni sendiri menyadari, bahwa setelah pengakuan suaminya itu ia malah jadi sering curiga dan tidak percaya pada semua kata-kata dan aktivitas suaminya. Untuk itu, ia sering memonitor setiap gerakan suaminya. Tidak hanya itu, Weni jadi mudah sekali tersinggung, dan hampir semua kata-kata suaminya ditanggapi dengan kemarahan. Weni merasa dirinya semakin sulit mengendalikan emosinya sendiri.

Menurut pandangan para ahli, reaksi yang terlihat pada Weni adalah reaksi yang wajar jika seseorang menghadapi suami yang berselingkuh, dan reaksi tersebut mengindikasikan bahwa Weni mengalami serangan kecemasan dan gejala-gejala seperti layaknya orang yang mengalami peristiwa traumatis. Biasanya, pasangan yang menghadapi masalah perselingkuhan akan mengalami kondisi depresi yang lebih berat ketimbang pasangan yang sedang mengalami permasalahan lainnya. Tidak jarang salah satu pihak karena tidak tahan akan beban mental yang harus ditanggung, akhirnya memutuskan untuk bunuh diri atau membunuh pasangannya. Memang tindakan tersebut kelihatannya sangat ekstrim, namun pada kenyataannya hal tersebut sering terjadi, apalagi di Indonesia.

Mengingat kemungkinan yang akan terjadi jika dalam kehidupan sebuah keluarga sedang dilanda masalah perselingkuhan, maka jika masih ingin menyelamatkan kehidupan perkawinan, sebaiknya meminta bantuan orang-orang yang ahli seperti halnya konselor perkawinan atau pun terapis agar tekanan emosional dan energi negatif yang berputar-putar dalam keluarga tersebut dapat diselesaikan dengan baik.

Secara singkat, tahapan-tahapan di bawah ini baik untuk dilakukan jika ada di antara Anda yang mengalami masalah serupa di atas :

  1. Biarkan diri Anda mengalami segala macam perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, jangan ditekan atau pun di tahan-tahan karena emosi yang ditekan hanya akan menghabiskan energi yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupan Anda. Energi negatif yang ditahan-tahan justru akan membuat diri Anda semakin dilingkupi kemarahan dan sulit untuk bisa berpikir dan bertindak positif.
  2. Cobalah meminta bantuan terapis, konselor atau pun orang-orang yang ahli dalam mengatasi persoalan perkawinan. Carilah terapis yang benar-benar mampu membantu Anda mengekspresikan perasaan dan mengendalikan perasaan Anda tersebut.
  3. Curahkanlah segala perasaan, kepahitan dan kekecewaan Anda pada Tuhan, karena pada akhirnya Tuhan pasti akan membantu Anda mengatasi kerumitan hidup jika Anda memang benar-benar menghendakinya.

(e-psikologi.com)