METAMORFOSIS

:::Hanya catatan kecil & kliping artikel:::

More About Me...

hanya seorang anak manusia yang sedang belajar memaknai hidup, tapi ada yang pernah bilang "jangan hanya bisa mencari makna, tapi lakukan sesuatu untuk menemukannya", dan ada lagi yang bilang bahwa manusia yang hanya berorientasi pada makna maka dia akan selalu terjebak di masa lalunya dan selalu ragu dengan masa depannya. akhirnya saya memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya, biar lebih hidup!

Another Tit-Bit...

seseorang pernah mengatakan "kalo ada sesuatu yang bisa dilakukan sekecil apapun, jika diawali dengan baik mungkin hasilnya akan besar"

Showing posts with label Pemerintahan. Show all posts
Showing posts with label Pemerintahan. Show all posts

Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang

KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERENCANAAN TATA RUANG

LATAR BELAKANG

Konsepsi peran serta masyarakat, walaupun berbagai pihak telah berkeinginan menetapkannya sejak tahun 80-an, tetapi secara formal baru terwujud konsepsinya di tahun 1992 melalui pengundangan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang di sahkan pada tanggal 13 Oktober 1992. Hal ini juga sebagai upaya mengantisipasi dan menjaga kesinambungan pembangunan. Selanjutnya diikuti oleh Peraturan Pemerintah , pada tanggal 3 Desember 1996, yaitu PP No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Disamping itu pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 tentang Tatacara Peranserta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dalam perundangan tersebut di amanatkan bahwa untuk penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat. Peran dan keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan dan mengamankan aturan tersebut amat sangat penting artinya karena hasilnya akan dinikmati kembali oleh masyarakat di wilayahnya.

Selanjutnya dengan merujuk pada TAP MPR IV/MPR/2000 tentang rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yaitu “peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah” terlihat jelas pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam berbagai proses penyelenggaraan pembangunan, termasuk didalamnya dalam proses penataan ruang. Semangat tersebut sejalan dengan bunyi pasal 12 UU No 24 Tahun 1992 bahwa “ Penataan Ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat” . Prinsip tersebut seiring dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholder utama pembangunan.

PP No. 69 Tahun 1996 tentang “ Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang ” diatur hal-hal yang berkaitan dengan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat, Bentuk Peran Serta Masyarakat, Tata Cara Peran Serta Masyarakat dan Pembinaan Peran Serta Masyarakat diatur berdasar tingkatan hirarki Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Dalam PP ini diatur secara rinci pula hak masyarakat dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Tidak hanya hak, tetapi diatur pula kewajiban masyarakat dalam proses Penataan ruang.

Peraturan Pemerintah tersebut digagas oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Perekonomian) merangkap sebagai Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (ditunjuk sebagai koordinator penataan ruang berdasarkan Keputusan Presiden No.62 Tahun 2000 tentang koordinasi penataan ruang nasional) untuk mengatur tata cara pelaksanaannya di Tingkat Pusat. Kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) untuk tata cara pelaksanaan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pada konteks ini difokuskan pada proses perencanaan tata ruang

PEMBANGUNAN MILENIUM ( Millennium Development Goals/MDGs )

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium ( Millennium Development Goals/MDGs ).

Saat ini MDG telah menjadi salah satu acuan penting dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga tahap pelaksanaannya. MDG telah pula menjadi dasar perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional dan daerah.

Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan Indonesia ke depan adalah sebagai berikut:

  • Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi,
  • Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah,
  • Masih kurang menyatunya kegiatan perlindungan lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan,
  • Kesenjangan pembangunan antar daerah masih lebar, seperti antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota – desa,
  • Kualitas dan pelayanan infrastruktur yang belum sepenuhnya pulih dan masih tertundanya pembangunan infrastruktur baru,
  • Masih adanya potensi aksi separatisme dan konflik horizontal.

Dalam rangka menjawab semua tantangan dalam pembangunan Indonesia 2004-2009, Pemerintah Indonesia menetapkan tiga agenda pembangunan jangka menengah yaitu:

  • Menciptakan Indonesia yang aman dan damai,
  • Menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis,
  • Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Khusus terkait agenda yang ketiga, prioritas pembangunan dan arah kebijakannya adalah sebagai berikut: penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, peningkatan investasi, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan, pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan antar wilayah, peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial, pembangunan kependudukan yang berkualitas, dan percepatan pembangunan infrastruktur .

PENATAAN RUANG DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

Kebijakan sentralisasi pada masa lalu membuat ketergantungan daerah-daerah kepada pusat semakin tinggi dan nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat Pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi, partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, terdapat rasa memiliki masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan dan muncul komitmen untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.

Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya untuk sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing.

Untuk mensinergikan kepentingan masing-masing Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengutamakan peran masyarakat secara intensif.

Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat ( city as engine of economic growth ) yang berkeadilan sosial ( social justice ) dalam lingkungan hidup yang lestari ( environmentaly sound ) dan berkesinambungan ( sustainability sound ) melalui penataan ruang.

PARADIGMA PENATAAN RUANG

Dalam rangka menerapkan penataan ruang untuk pada akhirnya mewujudkan pengembangan wilayah seperti yang diharapkan, maka terdapat paradigma yang harus dikembangkan sebagai berikut:

  • Otonomi Daerah (UU No.22/1999)/( UU 32/2004) , mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembangunan Globalisasi
  • Pembangunan wilayah tidak terlepas dari pembangunan dunia, investor akan menanamkan modalnya di daerah yang memiliki kondisi politik yang stabil dan didukung sumberdaya yang memadai
  • Pemberdayaan masyarakat
  • Pendekatan pemberdayaan masyarakat merupakan tuntutan yang harus dipenuhi Good Governance
  • Iklim dan kinerja yang baik dalam pembangunan perlu dijalankan. Karakteristiknya adalah partisipasi masyarakat, transparasi, responsif dan akuntabilitas

STRATEGI PARTISIPATIF MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN TATA RUANG

Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 menyebutkan bahwa ” ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya ”. Selanjutnya, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Pengertian penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang kota.

Beberapa persoalan dalam penataan ruang adalah:

  • Kebijakan Pemerintah yang tidak sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.
  • Tidak terbukanya para pelaku pembangunan dalam menyelenggarakan proses penataan ruang ( gap feeling ) yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.
  • Rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan, sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.
  • Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama ( common interest ), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana Pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut. Jadi semua proses keputusan yang diambil harus melibatkan masyarakat.
  • Tidak optimalnya kemitraan atau sinergi antara swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan Penataan ruang.
  • Persoalan yang dihadapi dalam perencanan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan. Jarak antara penyampaian aspirasi hingga jadi keputusan relative jauh. UU 32/2004 (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000) tentang Otonomi Daerah maka telah menggeser pemahaman dan pengertian banyak pihak tentang usaha pemanfaatan sumber daya alam, terutama asset yang selama ini diangap untuk kepentingan Pemerintahan Pusat dengan segala perizinan dan aturan yang menimbulkan perubahan kewenangan. Perubahan sebagai tanggapan dari ketidak adilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi Regional atau Nasional. Meskipun di dalam UU tersebut desa juga dinyatakan sebagai daerah otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian besar kebijakan publik, paling rendah masih diputuskan di tingkat kabupaten. Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di tingkat local/desa. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan potensi terjadinya deviasi, baik yang pada gilirannya menyebabkan banyak kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Berdasar persoalan-persoalan tersebut, upaya keras untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang sesungguhnya harus diupayakan. Maka kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (ornop), tokoh masyarakat, dewan perwakilan rakyat, dan pihak-pihak terkait lainnya perlu disinergikan.

TANTANGAN DALAM MENERAPKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF MASYARAKAT

Hambatan dan tantangan terbesar dari penerapan perencanaan partisipatif adalah resistensi birokrasi ( mental block ) dan politisi, serta menganggap kapasitas masyarakat dan perangkat pemerintahan desa masih sangat terbatas baik teknis maupun sikap/perilaku berdemokrasi. Resistensi birokrasi terutama berkaitan dengan pembagian/pendelegasian kewenangan dan perimbangan keuangan. Sebagian besar birokrat masih keberatan apabila kewenangannya diserahkan yang akan membawa konsekuensi berkurangnya anggaran dinas/instansi yang dikuasainya. Selain itu, masih banyak peraturan birokrasi yang berorientasi “proyek”. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan institusi local (kelembagaan partisipasi masyarkat) pun dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Untuk mengatasi hal ini, langkah yang harus ditempuh antara lain: Pemaksaan melalui pembaruan kebijakan/peraturan perundang-undangan yang lebih prodemokrasi/partisipasi ( structural ); dan pendekatan social-kultural ( mental treatment , pendidikan dan latihan, dsb).

Resistensi politisi diperkirakan akan muncul karena salah satu konsekuensi dari desentralisasi fiscal adalah berkurangnya anggaran daerah yang berarti juga mengurangi nominal anggaran legislative. Hal ini lebih mudah diselesaikan melalui pendekatan politik dengan mengedepankan sikap kenegarawanan.

Tantangan terberat adalah bagaimana agar manajemen partisipatif ini tidak terdistorsi dan dimanipulasi oleh kelompok tertentu, seperti elit desa dan sebagainya. Karena itu, pengembangan system/mekanisme perumusan/pengambilan kebijakan public, termasuk resolusi konflik, serta peningkatan kapasitas masyarakat dan modal sosial sangat mendesak dilakukan.

Akhirnya, pengembangan manajemen partisipatif ini tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keuletan dan komitmen yang tinggi untuk mewujudkannya.

Mengingat partisipasi adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance , banyak organisasi memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance . Strategi yang diambil organisasi civil society umumnya dilandasi analisis situsasi yang mengemukakan adanya tiga hambatan utama menuju partisipasi yang baik (Hetifah. 2000), yaitu:

  • Pertama, hambatan structural yang membuat iklim atau lingkungan menjadi kurang kondusif untuk terjadinya partisipasi. Di antaranya adalah kurangnya kesadaran berbagai pihak akan pentingnya partisipasi serta kebijakan maupun aturan yang kurang mendukung partisipasi termasuk kebijakan desentralisasi fiskal.
  • Kedua, adalah hambatan internal masyarakat sendiri, diantaranya kurang inisiatif, tidak terorganisir dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk terlibat secara produktif dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini terjadi antara lain akibat kurangnya informasi.
  • Ketiga, adalah hambatan akibat kurang terkuasainya metode dan teknik-teknik partisipasi.

UPAYA PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang untuk mendukung pembangunan wilayah, maka beberapa prinsip dasar yang perlu diperankan oleh pelaksana pembangunan adalah sebagai berikut:

• Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;

• Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;

• Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;

• Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika dan moral;

• Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesional.

Prinsip - prinsip dasar tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak dipahaminya. Masyarakat juga bagian dari Rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya mendapat perlindungan HAM yang dapat dirumuskan dalam perencanaan tata ruang, seperti hak memiliki rasa aman terhadap keberlanjutan ekonomi, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, hak untuk mendapatkan rasa aman terhadap bencana dan lainnya.

Mengacu pada prinsip tersebut sebenarnya telah banyak keterlibatan masyarakat dalam berbagai tingkatan proses pembangunan, termasuk dalam proses Penataan Ruang.

STRATEGI PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN

Strategi yang perlu dilakukan dalam mendorong proses partisipasi menuju good government di Indonesia adalah:

a. Peningkatan Kesadaran ( Awareness Raising )

  • Memperkaya konsep – konsep pembangungan partisipatoris dalam pengembilan keputusan publik.
  • Mendorong kesadaran eksekutif dan legislatitif agar lebih membuka diri terhadap partisipasi masyarakat/warga. Ratusan bahkan ribuan seminar, workshop dan pelatihan telah dilakukan untuk mengangkat aspek partisipasi ke dalam proses pembangunan.
  • Mendorong permintaan yang lebih besar untuk partisipasi dan akuntabilitas dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan dan hak mereka berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan publik. Kegiatan utama berupa pendampingan, pelatihan serta kampanye publik.

b. Advokasi Kebijakan ( Policy Advocacy )

  • Membangun legal framework berupa kebijakan dan peraturan yang mendorong partisipasi.
  • Memberikan insentif/penghargaan terhadap inovasi untuk mendorong partisipasi.
  • Mendorong terbentuknya berbagai partnership antara Pemerintah dengan komponen civil society dengan jalan mendesain dan melakukan uji coba proyek – proyek inovatif dan partisipatif.
  • Memantau program/proyek pemerintah khususnya yang mengandung komponen partisipasi.
  • Mempengaruhi kebijakan dan strategi lembaga – lembaga donor internasional tentang partisipasi dan governance. Caranya antara lain dengan aktif terlibat dalam proses konsultasi yang dilakukan berbagai lembaga donor ketika melakukan policy dan strategi bantuannya. Cara lain adalah melakukan pemantauan proyek pembangunan yang dibiayai lembaga keuangan.

c. Pengembangan Institusi ( Institution Building )

  • Mendorong terbentuknya Forum Tata Ruang sebagai wujud konsultasi publik.
  • Memperbaiki kualitas partisipasi antara lain dengan menjamin keterlibatan kelompok perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam proses partisipasi
  • Memperkuat jaringan antar-NGOs di daerah agar terjadi shared learning antar-institusi sehingga menjadi lebih efektif menjalankan perannya mendorong good governance .
  • Memfasilitasi upaya penguatan institusi melalui civil education untuk membangun dan mengembangkan kekuatan serta mengasah keterampilan berpartisipasi secara efektif.

d. Pengembangan Kapasitas ( Capacity Building )

  • Mengembangkan berbagai metode alternatif dan teknik – teknik partisipasi.
  • Menyediakan skilled facilitator untuk memfasilitasi proses partisipasi. Pelatihan untuk Community Organiser (CO) dilakukan oleh banyak lembaga untuk mengkader fasilitator – fasilitator handal
  • Membangun system informasi dan komunikasi berbagai komunitas ( community based development) .
  • Melakukan pelatihan penggunaan metode partisipatoris baik untuk aparat pemerintah, aktivis, LSM maupun masyarakat.

PENUTUP

Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang menjadi sangat relevan dalam rangka menciptakan wilayahnya, yaitu tata ruang yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang asri. Berdasarkan pada beberapa hal yang telah diuraikan maka beberapa hal pokok yang terkait Penataan Ruang dalam rangka Pelibatan Masyarakat sebagai berikut:

  • Penatan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang mutlak dibutuhkan dalam rangka menjamin hak kepemilikan setiap orang, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dan mengelola perkembangan pembangunan yang terjadi ( development growth management ).
  • Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang tersebut perlu melibatkan masyarakat dengan pendekatan community driven planning . Dengan pendekatan ini diharapkan :
  • Terciptanya kesepakatan dan aturan main di masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial disebabkan program penataan ruang yang disusun sesuai dengan aspirasinya.
  • Meningkatnya rasa memiliki masyarakat terhadap program pemanfaatan ruang yang sejalan dengan terakomodasinya aspirasi masyarakat dalam program penataan ruang.
  • Mewujudkan masyarakat mandiri yang dapat memenuhi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhannya sendiri seiring dengan proses pembelajaran berpartisipasi yang terkandung dalam pendekatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.
  • Meningkatnya legitimasi program pembangunan Kabupaten/Kota karena disepakati secara bersama-sama yang pada akhirnya dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
  • Dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam Penataan ruang maka good governance dapat diwujudkan yang pada akhirnya semakin meningkatkan efesiensi dan efektifitas pembangunan wilayah. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel, bermoral dan beretika yang berorientasi pada rakyat.
Oleh : Handiman Rico
Divisi Riset JKPP - Bogor

Pengelolaan Keuangan Desa: Apa yang Baru?



UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemeintahan yang otonom. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta, good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi:

  • Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
  • Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.
  • APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa.
  • Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.
  • Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.

Diterbitkannya Permendagri No.37/2007 tentang pengelolaan keuangan desa memberikan landasan bagi semakin otonomnya desa secara praktik, bukan hanya sekedar normatif. Rilis aturan ini kemudian diikuti dengan rilis Permendagri No.66/2007 tentang perencanaan pembangunan desa, sehingga terdapat kesinambungan antara aturan mengenai perencanaan dengan pengelolaan keuangan desa. Beberapa pertanya kemudian muncul berkaitan dengan substansi, urgensi, dan relevansi keuda aturan tersebut dengan aturan yang telah dberlaku dan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, yang merupakan daerah otonom “atasan” dari desa. Beberapa Pemda telah pula menerbitkan Perda terkait pengelolaan keuangan desa ini.Pertama, apakah Permendagri 37/2007 ini sejalan dengan Permendagri 13/2006? Permendagri 13 tak ubahnya “kitab suci” bagi Pemda, sehingga kadangkala kelemahan/kekurangan/kesalahan dalam Permendagri tsb dipatuhi benar. Terbitnya Permendagri 59/2007 menunjukkan adanya kekurangan dalam Permendagri 13/2006. Pada bagian “Mengingat” Permendagri 37 disebutkan UU 32/2004, UU No.8/2005, dan PP No.72/2005, berbeda dengan Permendagri 13. Kedua, apakah pengaturan tentang penggunaan alokasi dana desa (ADD) oleh Desa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten? Jika iya, maka akan mengurangi hakikat Desa sebagai Daerah yang otonom, tapi jika tidak, kemungkinan besar penggunaan ADD tidak ekonomis, efektif dan efisien, atau bahkan menyimpang dari aturan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ketiga, bagaimana peran dan fungsi kecamatan dalam pengelolaan keuangan desa tsb? Aparatur kecamatan akan merasa cemburu apabila alokasi ADD untuk Desa ternyata sangat besar, sementara untuk Kecamatan alokasi anggaran untuk program/kegiatan sangat kecil atau malah tidak ada. Ada anggapan bahwa kecamatan adalah “atasan” desa, sehingga Desa mestinya “bergantung” dan “mematuhi” instruksi dari kecamatan. Pada kenyataannya, pengaturan dalam Permendagri 37/2007 ini tidak menyinggung sama sekali hal itu. Keempat, apakah memang terdapat kesesuaian yang utuh antara Permendagri No.37/2007 dengan Permendagri No.66/2007? Seharusnya, apa yang direncanakan menjadi dasar untuk mengalokasikan dana yang dialokasikan mengingat Depdagri sendiri “menganut” pendekatan anggaran berbasis kinerja. Artinya, seperti halnya Permendagri 13 yang “mematuhi” UU No.32/2004, UU No.17/2003 dan UU No.25/2004, maka konsep kinerja juga mestinya dijelaskan terkait dengan aspek perencanaan. Nah, jika dicermati lebih jauh, ada beberapa hal dari Permendagri 37/2007 dan Permendagri 66/2007 tidak sinkron secara teknis. Kelima, apakah aparatur Desa, terutama Sekretaris Desa dan Bendahara, akan mampu melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban sesuai dengan yang diatur dalam Permendagri No.37/2007 tsb? Keterbatasan SDM dan kebiasaan yang berjalan selama ini harus dirubah dan diperbaikan sehingga kultur good government governance (3G) dapat merasuk ke dalam administrasi dan birokrasi desa. Keenam, secara teknis ada beberapa perbedaan antara Permendagri 37/2007 dengan Permendagri 13/2006. Di antara perbedaan tersebut adalah:

  1. Bendahara hanya satu, sementara di Permendagri 13 ada 2 (penerimaan dan pengeluaran);
  2. Tidak ada fungsi akuntansi. Dengan demikian, tidak ada laporan keuangan Desa.
  3. Kepala Desa tidak melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya, kecuali kepada Sekretaris Desa selaku koordinator pengelola keuangan desa.
  4. Selain Sekretaris Desa dan bendahara, “pajabat” pengelola keuangan desa hanya diebutkan sebagai “perangkat desa lainnya.” Hal ini bisa menimbulkan interpretasi bahwa fungsi PPTK (dalam Permendagri 13) ditangani langsung oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa atau bendahara.

Beberapa persoalan lain akan muncul mengingat sangat beragamnya karakteristik Desa di Daerah. Dalam hal penentuan besaran ADD, misalnya. Apabila Pemerintah Kabupaten tidak bijak, dapat menimbulkan konflik antara Pemerintah Desa-Pemkab atau antar-Desa sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi dan kajian yang mendalam sebelum kebijakan tentang pengalokasian ADD dalam APBD dilakukan. Meskipun tidak ada formula bagi-bagi yang sempurna, setidaknya formula yang ditetapkan oleh Pemda nantinya bisa diterima oleh sebagian besar Desa. (syukriy.wordpress.com)

Sistem Kepartaian dan Pemerintahan yang Kuat

Jurnal Nasional - Perlu dibangun desain sistem kepartaian dan pemilu yang mengarah pada sistem multipartai sederhana, yang konsisten dan memungkinan check and balance.

Jumlah partai politik peserta pemilu bertambah lagi pada Pemilu 2009 mendatang yakni 34 parpol. Sebelumnya hanya 24 Di Pemilu 2004, turun dari 48 parpol pada Pemilu 1999. Naiknya parpol peserta pemilu untuk Pemilu 2009 paling tidak disumbang oleh beberapa sebab. Pertama, parpol lama yang mendapat kursi di DPR (meskipun hanya satu kursi) otomatis lolos akibat aturan peralihan dalam UU No.10/2008 yang membabat ketentuan Electoral Treshold sebagaimana diatur pada UU No.12/2003. Kedua, lolosnya parpol baru setelah hasil verifikasi KPU. Bagaimanapun jumlah peserta pemilu yang kembali meningkat ini adalah hasil dari kerangka hukum pemilu kita sendiri yang dihasilkan DPR dan Pemerintah. Pertanyaannya adalah, apa sesunguhnya desain sistem partai politik kita? Bagaimana hubungannya dengan jalannya pemerintahan ?

Sistem Kepartaian

Dalam literatur dikenal beberapa sistem kepartaian yang berlaku di berbagai negara yakni nonpartisan system, single-party systems, dominant-party systems, Two-party systems, dan Multi-party systems. Tidak semua negara sepakat dalam menggunakan sistem itu. Beberapa negara yang menjalankan sistem multi partai tetapi kenyataannya hanya satu partai yang dominan seperti Singapore dengan PAP-nya atau seperti Indonesia di masa Orde Baru dengan Golkar. Negara-negara lain (yang juga multi partai) seperti Amerika Serikat, dalam kenyataannya menggunakan two dominant-party system dengan Partai Republik dan Demokrat. Hal yang sama terjadi di Inggris dengan Partai Buruh dan Konservatif.

Pertanyaanya, bagaimana dengan Indonesia? Pertama, kalau kita amati maka Indonesia menganut sistem multi partai. Dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Sistem pemilu yang menyediakan banyak kursi di setiap daerah pemilihan menyebabkan partai yang tidak meraih suara terbanyak masih menikmati kursi sisa.

Kedua, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Sistem ET yang baru yang disebut Parliamentary Treshold (PT) yakni hanya partai yang meraih 2,5 persen suara sah saja yang punya wakil, ternyata dijalankan dengan tidak konsisten yakni hanya untuk DPR saja, sementara DPRD tidak. Dengan demikian banyak partai masih tetap memaksa berdiri paling tidak mendapat kursi di DPRD.

Ketiga, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya.

Keempat, terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni Partai Golkar dan PAN.

Keempat partai ini sama-sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.

Parpol dan Pemilu 2009

Mendirikan parpol merupakan hak yang mesti dijamin. Tetapi untuk ikut serta dalam pemilu seharusnya hanya parpol yang mendapat dukungan memadai saja yang bisa. Jika semua parpol bisa ikut tanpa pembatasan, betapa mahal dan rumitnya proses pemilu. Konsistensi merupakan hal penting. Sistem PT yang sudah ditetapkan diharapkan dapat diterapkan konsisten. Jangan sampai pada pemilu berikutnya sudah dianulir lagi. Sistem ET yang lamapun kenyataannya bisa dilewati parpol yang tidak mendapat dukungan, yakni dengan mengubah nama partainya.

Sementara sistem PT berjalan tidak konsisten, hanya berlaku di DPR dan tidak di DPRD. Hal ini masih ditambah kelemahan pada penetapan peserta pemilu 2009 yakni tidak adanya pengawasan yang memadai. Pengawas baru lahir di pusat (Bawaslu), dan di dua atau tiga provinsi dan kabupaten/kota. Bagaimana bisa dijamin parpol-parpol yang seharusnya tidak memenuhi syarat ternyata lolos? Kalau parpol yang gagal, mereka bisa protes ke KPU atau pengadilan, tetapi parpol yang sebetulnyaa tidak memenuhi syarat, siapa yang akan protes ?

Tentu saja yang paling menganggu, adalah model koalisi yang membingungkan dan pragmatis sebagaimana disinggung di atas. Melihat ketentuan dalam kerangka hukum kita, hal itu tampaknya tidak akan banyak berubah pada Pemilu 2009 mendatang. Kecuali apabila dibangun desain sistem kepartaian dan pemilu yang mengarah pada sistem multi partai sederhana, yang konsisten dan memungkinan check and balance. Dalam konteks itu, pemerintahan akan lebih fokus dan tidak terganggu oleh koalisi di dalamnya. Pemerintah akan jelas menjawab setiap kritik dari parpol oposisi saja. Hal ini akan memudahkan rakyat menilai pemerintah atau oposisi yang memiliki jawaban tepat untuk problem-probem yang dihadapi.

Topo Santoso, Advisor Kemitraan dan Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (kemitraan.or.id)

After the G-20 Summit: Global Governance Reform Is Needed in Energy and Climate Too

The November meeting of G-20 leaders in Washington reflects the important role of emerging economies in the global financial system and the need for the G-7 to adjust to this reality. But trade and finance are not the only areas in which the G-7’s dominance of global activity has faded. After two decades of rapid resource demand growth in the developing world, the G-7 today accounts for only a third of global energy demand and CO2 emissions. And just as the Bretton Woods institutions built by the financial powers of the post-War period need updating, the current approach to global energy and environmental governance needs to be rethought.

Over the past two decades, the G-7’s share of global economic activity has fallen from 68 percent to 55 percent and its share of global trade from 60 percent to 39 percent. The G-20 on the other hand, by including large developing countries like China and India, covers 80 percent of global trade and 90 percent of global economic output.

Like the G-7, the International Energy Agency (IEA), formed by rich world energy importers in response to the 1970s oil crisis, may also be outmoded as a vehicle to deal with energy problems. The IEA is charged with coordinating management of strategic oil reserves in the event of a supply disruption, collecting data, and promoting energy efficiency. While it performs these tasks well, IEA members account for a rapidly declining share of global energy demand. In its annual World Energy Outlook released just before the summit, the IEA predicts that over the next two decades, OECD countries (the group of leading market economies) will account for only 12 percent of the growth in energy consumption worldwide, further reducing their share from 46 percent today to 36 percent by 2030. And despite the current drop in oil prices, the report forecasts very tight energy markets because of underinvestment in new production, suggesting that future energy security challenges lie far beyond what the IEA is equipped to handle, both in terms of membership and responsibility. Countering OPEC’s growing market dominance and ensuring stability in energy-producing parts of the world will require both new tools and more partners.

Given our current dependence on fossil fuels, growth in energy demand translates directly into growth in CO2 emissions. The World Energy Outlook predicts that unless there is a major change in policy, global CO2 emissions will grow from 28 gigatons today, to 41 gigatons in 2030, a trajectory that would result in “catastrophic and irreversible damage to the global climate.” Of this growth in emissions, 97 percent is projected to come from developing countries. This creates major challenges for the UN-led international framework charged with tackling the issue.

The UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), signed in 1992 and ratified by 192 countries, including the United States, differentiates responsibility for reducing emissions between developed countries (those listed in Annex II of the convention) and developing countries. This principle of “common but differentiated responsibilities” is meant to reflect the higher per capita emissions of developed countries and their greater ability to pay to reduce their emissions. But categorizing countries as either “developed” or “developing” doesn’t reflect the way the world has changed since 1992. While it’s true that the United States alone released more CO2 over the past century than the whole of the developing world, by 2030 China’s annual emissions alone will rival those from all OECD countries combined. And while per capita emissions today are low in the developing world on average, key emerging economies are rapidly closing the gap with their rich world peers. The IEA projects that per capita emissions in both China and the Middle East will surpass those in Europe around 2020 and that Russia will surpass the United States on a per capita basis by 2030. And that’s without the adoption of climate policy in Annex II countries.

The bottom line is that while everyone agrees that little can be expected from the developing world until the United States makes a serious effort to reduce emissions, we are all cooked unless large emerging economies peak, and then reduce emissions shortly thereafter. Negotiating this type of sequencing of commitments is extremely difficult within the current UNFCCC framework, as large emerging economies have little incentive to differentiate themselves voluntarily from 168 countries lumped together into the “developing” column.

What does this have to do with the G-20 summit? The meetings this weekend will rightfully focus on the crisis at hand. There is more than enough to keep everyone busy for months to come. In addition, the lame-duck American presidency is certain to limit ambitions. That said, if the G-20 ends up creating working groups to explore the possibility of a “Bretton Woods II” they should think about global institution building more broadly. The future stability of the financial system can’t be tackled by the G-7 alone. Ensuring future energy security and stability of the earth’s climate is impossible without the help of key emerging economies. If these countries are given a greater role in shaping global markets and institutions on which their future economic growth relies, they should expect to play a similarly commensurate role in managing the energy and environmental challenges that growth implies.

Such a bargain would not only help the international community to address specific issues (for example, roadblocks in climate negotiations under the UNFCCC), but also reflect the need for a broader scope in managing today’s global economy than the one established in 1944. (by Trevor Houser)

Trevor Houser, a visiting fellow at the Peterson Institute for International Economics, is director of the energy and climate practice at the Rhodium Group, LLC. He is a coauthor of Leveling the Carbon Playing Field, published in 2008 by the Peterson Institute for International Economics and the World Resources Institute.

Pembangunan Desa dan Kelurahan

Clean Government dan Good Governance

Manajemen Kinerja Pemerintahan

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat

Manajemen Kebijakan Publik

Strategi Peningkatan PAD

Pembangunan Daerah

PNS JUGA MANUSIA (BIASA) Oleh : Eddy Satriya


Seakan telah menjadi sebuah menu rutin, hujan hujatan kepada sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menjadi berita utama pasca lebaran yang lalu. Meski terkesan repetitif menguraikan inefisiensi birokrasi dan kebobrokan mental aparatnya, pemberitaan itu juga semakin dalam mencungkil berbagai segi yang terkait dengan PNS.
[img:
joyokusumo.wordpress.com]

Pedoman Bagi Kepala Desa dan/atau Perangkat Desa yang Akan Menjadi Calon Anggota Legislatif


Jakarta, kpu.go.id Menteri dalam Negeri melalui Surat Nomor 140/2661/SJ mengeluarkan pendoman bagi kepala desa dan/atau perangkat desa yang akan menjadi calon anggota legislatif.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa pengaturan bagi kepala desa dan/atau perangkat desa yang hendak mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif diatur sebagai berikut:

Kepala Desa dan/atau perangkat desa yang hendak menjadi calon anggota legislatif, wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada camat dan badan permusyawaratan desa.

Bupati/walikota menyampaikan persetujuan/penolakan secara tertulis kepada kepala desa dan/atau perangkat desa pemohon dengan tembusan kepada camat dan badan permusyawaratan desa.

Kemudian, Persetujuan bupati/walikota bagi Kepala Desa dan/atau perangkat desa pemohon harus ditindaklanjuti dengan:

Penetapan Keputusan Bupati/Walikota tentang pemberhentian sementara kepala desa yang bersangkutan, dengan batas waktu sampai dengan penetapan anggota legislatif berdasarkan hasil pemilihan umum, Penetapan keputusan bupati/walikota tentang pengangkatan pejabat sementara kepala desa.

Berdasarkan surat persetujuan Bupati/Walikota terhadap perangkat desa yang hendak menjadi calon anggota legislatif, maka: Kepala Desa menetapkan keputusan kepala desa yang bersangkutan; dan Kepala Desa segera memilih atau mengangkat perangkat desa yang baru untuk menggantikan perangkat desa yang diberhentikan .

Adapun maksud dari pemberhentian sementara bagi kepala desa di atas adalah agar yang bersangkutan dapat berkonsentrasi dalam proses pencalonannya sebagai anggota legislatif dan untuk menghindari pemanfaatan kedudukan dan fasilitas desa dalam pemilu.

Bila kepala desa terpilih menjadi anggota legislatif, maka (1) yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya sebaga kepala desa dengan keputusan Bupati/Walikota; dan (2) Badan Permusyawaratan Desa bersama Pejabat Sementara Kepala Desa segera menyelenggarakan proses pemilihan kepala desa yang baru.

Dalam hal kepala desa yang tidak terpilih menjadi anggota legislatif, maka keputusan pemberhentian sementara sebagai kepala desa dicabut, dan yang bersangkutan kembali menjabat sebagai Kepala Desa sampai akhir masa jabatan. (Mantri/Redaktur)

Jadi Caleg, Kades Harus Cuti



Tidak eksplisit dilarang oleh Undang-undang, tetapi kades dilarang terlibat kampanye dan rangkap jabatan jadi legislatif.

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memutuskan kepala desa (kades) yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik (parpol) harus berhenti sementara dari jabatannya sebagai kades. Sementara, perangkat desa yang turut mencalonkan diri sebagai caleg maka akan diberhentikan secara otomatis oleh pemerintah daerah di wilayahnya masing-masing. Keputusan pemerintah ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 140/2661/SJ tertanggal 2 September 2008 guna menindaklanjuti amanah Undang-Undang (UU) Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Nomor 10 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Depadgri Ayip Muflich mengatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 memang tidak secara eksplisit mengatakan kades dan perangkatnya harus berhenti sementara atau berhenti otomatis jika menjadi caleg. Namun, pasal 84 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 dan PP Nomor 72 Tahun 2005 menyatakan kades dilarang dilibatkan dalam kampanye dan kades tidak boleh merangkap jabatan menjadi anggota DPRD. Terkait dengan persoalan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutuskan bahwa kepala daerah yang hendak mencalonkan diri kembali sebagai calon kepada daerah (incumbent) dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai kepala daerah.

"2004 Depdagri juga keluarkan surat edaran Nomor 141 tentang pedoman caleg tadi, bagi kades yang maju sebagai caleg harus diberhentikan sementara dan untuk perangkat desa harus diberhentikan," kata Ayip Muflich kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Mendagri Mardiyanto mengatakan tata cara pemberhentian kades dan perangkat desa sudah diatur dalam SE tersebut. Teknisnya, kades dan perangkat desa yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg harus mengajukan permohonan tertulis pemberhentian kepada Bupati atau Wali Kota dan ditembuskan kepada Camat dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Selanjutnya, surat permohonan pemberhentian itu menjadi dasar Bupati atau Wali Kota mengeluarkan surat pemberhentian dan mengangkat penjabat sementara kades atau perangkat desa yang baru.

"Ini memberikan fair play dalam rangka kegiatan legislatif dan supaya pekerjaan di pemdes tidak terbengkalai, ini merupakan suatu kewajiban," kata Mardiyanto.

Secara terpisah, Kades Bangkalan Madura, Abdul Hafidz menilai keputusan pemerintah melalui Depdagri yang mewajibkan pemberhentian kades dan perangkat desa dari jabatannya jika hendak mencalonkan diri sebagai caleg merupakan keputusan yang patut didukung oleh seluruh pihak. Pasalnya, sebagai abdi masyarakat seorang kades dan perangkat harus melayani kebutuhan masyarakat di daerahnya secara total. Memang setiap individu memiliki hak untuk berpolitik namun jangan sampai hak tersebut memunculkan dualisme peran dalam tubuh seorang abdi masyarakat.

"Sebagai abdi masyarakat seorang kades memang harus murni melayani kebutuhan masyarakatnya," kata Abdul Hafidz kepada Jurnal Nasional, Minggu (7/9).

Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampouw mengatakan secara lebih luas seharusnya surat pemberhentian juga diwajibkan bagi setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg. Selain guna menjaga netralitas PNS dan menindaklanjuti semangat UU Nomor 10 Tahun 2008, kepastian pemberhentian itu juga dapat menghemat uang negara jika yang bersangkutan nantinya benar-benar terpilih sebagai anggota legislatif.

"Ini penting karena syarat UU dan jangan sampai caleg terpilih itu nantinya terima gaji dobel seperti yang terjadi di 2004," kata Jeirry Sumampouw.

Secara terpisah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati mengatakan UU memang tidak menyebutkan PNS harus diberhentikan jika hendak mencalonkan diri sebagai tapi cukup mengundurkan diri. Dan, surat pengunduran diri itu harus dilampirkan caleg yang bersangkutan jika hendak mendaftar ke KPU.

"Kalau sudah terpilih saya yakin dia akan mundur karena akan jadi masalah ketika itu tidak dilakukan," katanya.

Solidarisme dan Laissez Faire

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume II Edisi No. 53 Tanggal 27 Oktober 2008
Oleh: Sukasah Syahdan

Pada mulanya solidaritas atau solidarisme* (S) sebagai doktrin politik berangkat dari visi yang mirip dengan ideal pasar bebas laissez faire (L). Semua individu anggota masyarakat sama berkepentingan dan punya memiliki kepentingan sama dalam berekonomi, dalam berumah-tangga sehari-hari. Rona egalitarian di kedua wajah masing-masing menyiratkan keyakinan bahwa penyelenggaran sistem ekonomi masyarakat paling baik adalah yang tidak memandang bulu, tidak memfavoritkan satu golongan di atas kelompok lain.

Romantisme idaman S diletakkannya di atas pengakuan bahwa produktivitas ditentukan oleh faktor-faktor produksi. Keyakinan S semakin mendalam dengan diperlihatkannya bukti-bukti nyata “kegagalan” doktrin induk yang lebih keras pada suatu masa yang belum terlalu jauh dari jaman kita, yang pernah ingin melenyapkan sepenuhnya individualitas ke dalam konstruk sosial masyarakat tanpa kelas. Dengan keyakinan barunya, kepemilikan terhadap faktor produksi tidak boleh diseragamkan secara komunal, sebab hal tersebut akan membuahkan petaka kemanusiaan dan kehancuran peradaban.

Sementara itu, dalam hal kinerja ekonomi, kelugasan L yang sering dikatakan “kasar” pula kurang romantik, adalah keandalan yang nyaris niscaya selalu dapat diulangnya; dia berpegang pada bukti, bukan janji, dan sejarah terbukti berpihak kepadanya sebagaimana teori yang solid dapat “mendahului” pengalaman di masa depan. Konsistensi L mengatakan kepada benak-benak yang mampu memahami keindahan pasar dalam “spontanitasnya”: tidak perlu ada seorang Ani untuk memerintah si Anu.

Kalaupun mereka yang meyakini L sering terkesan berbeda pandangan, itu cerminan konsekuensi logis dan ekspresi kemandirian akal dan kehendak bebas di dalam sistem di mana kebebasan dan supremasi individu tumbuh subur tanpa mengenal kultus kenabian individu atau kultus institusional manapun. Terlepas dari perbedaan dalam ekspresi-ekspresi tersebut, pada hakekatnya semua setuju akan satu hal: perlunya meminimasi struktur pemerintahan. Sebagian memandang perlu minarkisme, sebagian menampik sepenuhnya pemerintahan untukmemeluk anarkisme. Tugas pemerintahan terbatas untuk melindungi hak milik pribadi dan kebebasan berekonomi si Ani, si Anu dan jutaan individu lain seperti mereka.

Hingga pada suatu ketika S berkata, “Maaf L, tatanan sosial berdasarkan kepemilikan pribadi semata sebagaimana kamu yakini, kuragukan mampu merealiasikan mimpi-mimpiku.” Di persimpangan jalan itu mereka bertatapan.

Sejumlah “pandito” gadungan pendukung S di tepi jalan bersorak sambil meneriaki bahwa L tidak punya mekanisme built ini untuk mengatasi kesenjangan dalam berproduksi. L tidak bisa mendistribusi hasil produksi secara adil, kata mereka, entah dari mana datangnya kesimpulan ini sebab ilmu kepanditaan sejati justru menyimpulkan sebaliknya. Namun, S pun seperti mendapat justifikasinya. Terus berjalan bersama adalah kemustahilan, demikian simpulnya, yang langsung diamini para pandito.

Sebagai varian doktrin egalitarian yang menekankan equality, S mengibaratkan kehidupan dengan perlombaan di mana atas nama prinsip keadilan atau fairness setiap peserta harus berbekal sepadan dan memulai dari titik awal yang sama. Doktrin perlindungan terhadap hak milik pribadi semata dianggap tidak mampu memenuhi prinsip ini. Karenanya, diperlukan aturan-aturan khusus dari institusi yang khusus pula.

Kata sebagian pendukung S, visi ini adalah pengejaran yang moral. Perlu jalur legal berupa ayoman pemerintah. Pemerintah adalah hukum, maka salah atau benar, sepak terjangnya senantiasa legal. Agar konstitusi lebih dari sekadar alat, dia butuh sakralisasi lewat mitos, sanksi atau koersi. Banyak pula yang menambahkan, sebaiknya S dipermantap dengan dalil-dalil teologis. Mewajibkan orang lain untuk menyerahkan sedikit banyak hak milik untuk menolong sesama itu patut didukung lewat metode apapun. Demikian S merangkul eklektisme untuk perjuangan sebuah moral cause bersama.

*

Mungkin berlebihan dan agak mengejutkan jika sekonyong-konyong disimpulkan di sini bahwa implementasi doktrin egalitarian S oleh negara akan berakhir sebagai proyek-proyek yang mengerdilkan individu manusia, sebagai satu-satunya makluk yang mengenal moralitas, dalam mengexercise kemanusiaannya. Namun, begitulah kesimpulan praksiologisnya. Tinjauan lebih jauh dan contoh blunder legislasi terhadap hal ini telah dibahas (di sini dan di sini) dalam Jurnal ini.

Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan seputar pengejaran S oleh negara harus dikembalikan kepada pendukungnya, termasuk para pandito yang mengklaim bahwa perekonomian laissez faire hampa moralitas dan tidak mengenal mekanisme keadilan. Apakah yang moral dari tindakan yang berasal dari ketiadaan pilihan? Apakah yang etis dalam suatu keharusan di bawah ancaman? Di mana letak keadilannya?

Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Frédéric Bastiat, seorang ekonom yang berasal dari sebuah negeri di mana S berupa Fraternity pernah nyaring digaungkan:[1]

“Jika setiap orang berhak mempertahankan-bahkan dengan menggunakan kekerasan-dirinya sendiri, kebebasan dan hak miliknya, maka dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang juga berhak berorganisasi dan menggalang kekuatan bersama untuk melindungi hak-hak tersebut secara konstan. Maka prinsip hak kolektif-sebagai alasan bagi keberadaan dan legalitasnya sendiri-didasari pada hak individu. Dan himpunan kekuatan bersama yang bertujuan melindungi hak kolektif tersebut secara logis tidak memiliki alasan ataupun misi lain apapun kecuali untuk kepentingan yang disubstitusikannya. Dengan demikian, oleh karena seorang individu tidak dapat secara legal mengambil secara paksa diri, kebebasan atau hak milik seorang individu lainnya, maka himpunan kekuatan bersama-atas alasan yang sama-juga tidak dapat secara legal digunakan untuk menghancurkan diri, kebebasan dan hak milik individu atau kelompok lain.”

Esensi Kecamatan Dalam Otonomi Daerah

PP No. 19/2008 Tentang Kecamatan

Prinsip penyeleggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No. 32/2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka azas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka azas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.

Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan peraturan pemerintah. Sebagai perangkat daerah, camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang bermakna urusan pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.

Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Pertanggungjawaban camat tersebut adalah pertanggungjawaban administratif. Pengertian melalui bukan berarti camat menjadi bawahan langsung sekda, karena secara struktural camat berada langsung di bawah bupati/walikota.

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundangan, pembinaan desa/kelurahan, serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan serta instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena itum, kedudukan camat berbeda dengan kepala instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi tersebut harus berada dalam koordinasi camat. Koordinasi tersebut dimaksudkan untuk mencapai keserasian, keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi dan integrasi keseluruhan kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan di kecamatan guna mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kecamatan yang efektif dan efisien.

Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan azas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam kerangka membangun integrasi kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah.

Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem adminitrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan dengan itu, camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari dua sumber yaitu bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan dan kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Dengan demikian, peran camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan. Atas dasar pertimbangan demikian, maka camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan bupati/walikota di wilayah kerjanya.

Kenapa desa selalu menjadi unsur pemerintahan yang dianggap remeh?


Mungkin sebenarnya tidak selalu, bahkan sejak jaman kolonial, desa sudah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah hindia-belanda. Hal ini terbukti dengan diakuinya keberadaaan pemerintahan desa yang diatur dalam peraturan perundangan waktu itu. Tetapi sudah menjadi paradigma bahwa desa adalah unsur pemerintahan yang berada di urutan terbawah dalam daftar perhatian pemerintah. Meskipun akhir-akhir ini sudah mulai muncul geliat untuk kembali “menghidupkan” ujung tombak pelayanan masyarakat ini misalnya dengan adanya rencana pembuatan undang-undang tentang desa, namun tetap saja, desa adalah desa, sebuah unit penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem yang sangat sederhana.

Ironisnya, dengan kesederhanaan itu desa dituntut untuk bisa “ngawulani” berbagai kepentingan yang seringkali menjadi beban berat apabila dilihat dari segi kapasitas dan kewenangan yang dimiliki termasuk ketika desa menjadi favorit komoditas politik pada masa-masa menjelang pesta demokrasi. Selanjutnya desa hanya akan menjadi objek, padahal untuk mewujudkan kesejahteraan yang diperlukan adalah adanya partisipasi dari seluruh elemen yang di dalamnya syarat dengan kegiatan yang dilaksanakan di level terbawah, artinya desa harus menjadi subjek pembangunan. Bukan hanya di tataran pemerintahan melainkan di seluruh lapisan masyarakat dimana pemerataan kesejahteraan akan benar-benar menyentuh sasaran.

Kembali pada pertanyaan kenapa desa masih dianggap remeh, setidaknya ada beberapa indikator yang mencerminkan rendahnya daya tawar desa yang membuat pertanyaan tersebut hampir tidak terjawab.

· SDM yang rendah

· Wilayah kerja yang sempit

· Anggaran penyelenggaraan pemerintahan sedikit

· Sistem kerja klasik

· Posisi dalam struktur pemerintahan terrendah

· Wewenang pengelolaan SDA sangat terbatas

· Tidak bisa menghasilkan sesuatu yang dianggap menguntungkan

· Proyek kegiatan yang dilaksanakan berdana minim

· Dan lain-lain

Bagaimanapun idealnya sebuah sistem apabila tidak didukung dengan sumber daya yang bagus maka pelaksanaanya pun akan tetap terseok-seok. Bukan rahasia lagi dan semua orang pun mengakui bahwa SDM dalam struktur pemerintahan desa menjadi faktor yang paling merefleksikan kemajuan dan perkembangan desa di masa depan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pola rekriutmen aparat pemerintah desa yang selama ini terkesan seadanya dan kurang terkontrol. Yang menjadi masalah adalah bahwa minat masyarakat untuk mengisi struktur jabatan di desa masih rendah, dan kalaupun ada yang berminat biasanya hanya mereka yang sudah tidak punya pilihan pekerjaan lain atau bahkan hanya dijadikan pekerjaan sambilan. Sedangkan yang semestinya dianggap memadai dan mempunyai kapasitas yang cukup akan menjauh dari pekerjaan sebagai perangkat desa dan memilih mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan. Cukup rasional dan memang tidak banyak yang bisa diharapkan dengan menjadi aparat pemerintah desa.

Selain pola rekruitmen yang perlu dievaluasi, pembenahan sumber daya manusia bagi aparat pemerintah desa bisa dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan baik yang menyangkut praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan maupun pengembangan pola pikir yang berorientasi pada peningkatan kreativitas dan inisiatif. Kenyataan dalam praktek yang sebenarnya, para perangkat desa dituntut untuk bisa selalu tanggap terhadap lingkungan wilayah kerjanya dan mampu melihat peluang untuk mengembangkan kekayaan desa melalui peningkatan sumber pendapatan desa. Aplikasi itulah yang dibutuhkan guna mendorong pemerintah desa agar bisa mengelola anggaran yang terbatas untuk menciptakan kemandirian yang partisipatif dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warganya.