METAMORFOSIS

:::Hanya catatan kecil & kliping artikel:::

More About Me...

hanya seorang anak manusia yang sedang belajar memaknai hidup, tapi ada yang pernah bilang "jangan hanya bisa mencari makna, tapi lakukan sesuatu untuk menemukannya", dan ada lagi yang bilang bahwa manusia yang hanya berorientasi pada makna maka dia akan selalu terjebak di masa lalunya dan selalu ragu dengan masa depannya. akhirnya saya memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya, biar lebih hidup!

Another Tit-Bit...

seseorang pernah mengatakan "kalo ada sesuatu yang bisa dilakukan sekecil apapun, jika diawali dengan baik mungkin hasilnya akan besar"

PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN NASIONAL










Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, gonjang-ganjing mengenai peningkatan taraf hidup petani di pedesaan selalu mengalami dinamika. Apapun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani, seringkali menuai kritikan dan kontroversi dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang mengatakan petani sebagai "wong cilik" yang kehidupannya semakin tertindas dan harus menjadi tumbal atas kebijakan perekonomian pemerintah. Kita lihat kembali bagaimana kebijakan penentuan harga dasar gabah, pengurangan subsidi pupuk, mahalnya harga bahan bakar dan baru-baru ini kebijakan import yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan petani.

Disisi lain, pembangunan nasional juga menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Banyak peneliti yang sudah membuktikan bahwa pembangunan semakin memperbesar jurang antara kota dan desa. Sangat disadari, negara berkembang seperti Indonesia mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain seperti sektor pertanian dikorbankan yang akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota. Hal ini juga sesuai dengan hipotesa Kuznets, bahwa pada tahap pertumbuhan awal pertumbuhan diikuti dengan pemerataan yang buruk dan setelah masuk pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. (Todaro, 2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan tersebut antara lain karena perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur investasi, dan kebijakan (Arndt, 1988).

Dewasa ini, telah banyak para ahli pembangunan masyarakat pedesaan yang mengangkat permasalahan ini ke permukaan. Karena sesungguhnya yang terjadi petani tetap miskin, sebab persoalan yang berkaitan dengan produksi seperti kapasitas sumber daya manusia, modal, dan kebijakan tetap sama dari tahun ke tahun walaupun bentuknya berbeda. Studi mengenai kemiskinan pedesaan oleh Sarman dan Sajogyo (2000) menunjukkan bahwa untuk daerah pedesaan di Sulteng mencapai 48,08% sementara untuk perkotaan sekitar 12,24%. Studi ini menggunakan pendekatan jisam (kajian bersama) sehingga kriteria kemiskinan sangat lokalistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan kepemilikan masyarakat.

Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek.

Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi selanjutnya proyek-proyek mulai dilengkapi dengan aspek lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas lapang, melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atau dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.

Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Telaah lebih lanjut paper ini adalah bagaimanakah peran pemberdayaan masyarakat desa dalam program-program pemerintah untuk peningkatan pendapatan. Kemudian seberapa besarkah kegiatan ekonomi masyarakat desa mendukung perekonomian nasional. Topik tersebut masih relevan untuk dibahas bagi agenda pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, mengingat keberadaan masyarakat desa dari sisi kualitas dan kuantitas menjadi peluang dan tantangan.
Oleh : MG Ana Budi Rahayu

Silahkan klik disini untuk download artikel selengkapnya (21 halaman dokumen pdf)

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

View SlideShare presentation or Upload your own. (tags: ekonomi lokal)
Usaha untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi daerah.


SlideShare Link

NEOLIBERAL MUSUH BERSAMA PEMBANGUNAN

Negara-negara utara melalui IMF, Bank Dunia, dan WTO gencar mempromosikan sistem ekonomi-politik neoliberal. Profit adalah orientasinya dan pasar bebas adalah sarananya. Para penganjur neoliberal mengatakan bahwa tidak ada alternatif sistem lain selain neoliberal. Namun, di sisi lain fakta empiris justru menunjukkan bahwa sistem ini justru menghasilkan kemiskinan dan kehancuran ekologi. Ha-Joon Chang dan Ilena Grabel, dua ekonom yang pernah menjadi konsultan PBB ini, membongkarnya.
__________________________________

Resensi Buku

Judul Asli : RECLAIMING DEVELOMPMENT:An Alternative Economy Policy
Judul Buku : Membongkar Mitos Neolib, Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan
Diterbitkan : INSISTPress
Penulis : Ha-Joon Chang dan Illene Grabel
Halaman : 223 Halaman

Perlawanan! Itu kesan yang muncul setelah membaca buku yang berjudul “Membongkar Mitos Neolib, Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan” ini. Bagaimana tidak, segela mitos sistem ekonomi – politik neoliberal yang telah menjadi ‘kitab suci’ bagi sebagian mahasiswa ekonomi, pakar ekonomi bahkan juga para pengambil kebijakan di sebagian negara dibongkar habis oleh dua ekonom ini.

Sistem neoliberal adalah sebuah sistem ekonomi-politik yang melucuti peran dan kewenangan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan memindahkan kewenangan itu kepada sector swasta yang didominasi oleh korporasi-korporasi besar.

Buku ini dibagi menjadi dua bagian utama. Pada bagian pertama dua ekonom ini membongkar habis kebusukan sistem neoliberal sementara pada bagian kedua, mereka mencoba memberikan alternative kebijakan diluar neoliberal.

Salah satu kebusukan sistem neoliberal yang dibongkar antara lain adalah mitos yang mengatakan bahwa negara kaya memperoleh kemakmuran berkat komitmennya pada pasar bebas. Mitos itu dibongkar dengan mengungkapkan fakta bahwa negara-negara yang saat ini memperoleh kemakmuran karena mempelopori dan mengandalkan kebijakan industri dan perdagangan yang sangat kental dengan intervensi pemerintah.

Amerika Serikat yang saat ini menjadi penganjur sistem neoliberal adalah sarang bagi kebijakan proteksi industri baru yang masih rapuh. Strategi ini pula yang kemudian diadopsi oleh Jepang dan Jerman. Kini, negara-negara itu menjadi pusat-pusat kemakmuran. Lantas adilkah bila kini negara-negara kaya itu memaksa negara miskin dan berkembang untuk menghapuskan proteksi bagi industrinya sementara mereka telah melakukannya terlebih dahulu?

Namun, salah satu yang mengecewakan dalam buku ini adalah tidak adanya ilustrasi gambar dan uraian grafis. Akibatnya, selain membuat mata capek juga menyulitkan pembaca untuk cepat memahami materi-materi penting yang tertuang dalam buku ini terutama yang terkait langsung dengan persoalan teknis ekonomi. Meskipun begitu buku ini sangat layak dibaca oleh para mahasiswa, aktivis dan pemegang kebijakan di negeri ini. Setidaknya buku ini dapat memberi pencerahan pemikiran di tengah gelapnya penjara sistem neoliberal yang sedang menjadi ‘berhala’ baru di negeri ini.

Penulis: Firdaus Cahyadi

KONFERENSI INFID ke-15

Indonesia Butuh Reformasi Jilid II

SatuDunia, Jakarta. Krisis ekonomi yang melanda dunia mengakibatkan Indonesia berada di simpang jalan. Terkait dengan hal itulah muncul wacana untuk melakukan reformasi jilid II di Indonesia. Hal itu mengemuka dalam pembukaan konferensi INFID ke-15 di Jakarta (27/10).
___________________

Kehancuran sistem ekonomi sosialis Uni Soviet menimbulkan keraguan keberlanjutan paham sosialis. Demikian halnya dengan kapitalisme yang sedang diambang kehancuran akibat krisis ekonomi yang melanda negara pengusungnya, Amerika Serikat.

Dalam sambutannya mengawali Konferensi INFID ke-15, M. Dawam Rahardjo, mengatakan bahwa interaksi antara demokrasi dan ekonomi adalah sebuah masalah klasik. “Demokrasi mendasari ekonomi atau sebaliknya,” ujarnya seperti ditulis dalam media advisory INFID.

Dikatakan juga, dalam praktik sosialis, sistem politik ditegakkan lebih dulu, baru dibangun perekonomian sosialis. “Sementara, kaum kapitalis percaya bahwa demokrasi didasarkan pada kapitalisme. Tanpa kapitalisme, demokrasi tidak akan berkembang,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, pada awal dasawarsa 90-an, rezim sosialis di Uni Soviet mengalami keruntuhan. Michael Gorbachev, Presiden Uni Soviet, mengumumkan dua reformasi, yaitu reformasi politik (glassnotz) dan reformasi ekonomi (perestroika).

Sementara, kini ekonomi pasar bebas juga sedang diambang kebangkrutan dengan terjadinya krisis ekonomi yang sedang melanda AS. INFID menilai bahwa akar dari krisis ekonomi AS sesungguhnya adalah imperialisme di bidang politik yang mengakibatkan defisit besar dalam APBN dan neraca pembayaran. Ini sebagai akibat pembiayaan politik perang dan sistem ekonomi riba yang menciptakan ekonomi buih atau bubble economy.

“Perdebatan dalam dua ranah ini menempatkan dunia, termasuk Indonesia, berada di simpang jalan,” kata Dawam Raharjo, “Demokrasi dan pembangunan ekonomi adalah dua hal yang saling mempengaruhi.”

Lalu dikatakan pula, pengalaman Indonesia sebelum dan sesudah merdeka, ketidakmerataan pembangunan ekonomi, menimbulkan gejolak politik. Kemiskinan berkepanjangan akan menuju revolusi.

“Pilihan Indonesia ke depan adalah menegakkan kembali kedaulatan rakyat dan berani melakukan perubahan paradigma pembangunan ekonomi menuju kemandirian,” tambahnya. Menurut Dawam, kemandirian ekonomi bisa dilakukan jika Pemerintah mengubah paradigma APBN yang bergantung pada utang, menegakkan kedaulatan pangan, kedaulatan energy, dan kedaulatan finansialnya.

Penulis: Daus

PNPM MANDIRI BUKAN JAWABAN PENGHAPUSAN KEMISKINAN

Gerakan Antipemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menilai Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan (PNPM) Mandiri bukanlah jawaban strategis bagi upaya penghapusan kemiskinan di Indonesia. Selain terkesan sebagai proyek singkat seumur jabatan presiden, PNPM Mandiri justru menjadi kebijakan yang malah menghambat kaum miskin keluar dari kemiskinannya.

______________________________

Gerakan Antipemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menilai Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan (PNPM) Mandiri, yang diluncurkan
Presiden pertengahan tahun lalu tidak lebih dari sebuah kandang proyek dari berbagai proyek departemen, kementerian maupun lembaga yang diklaim memberdayakan dan diberi label PNPM Mandiri.

PNPM Mandiri mulai dilaksanakan tahun 2007 oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang notabene merupakan proyek-proyek lama yang hadir pada saat krisis terjadi. Tahun 2008 selain PPK dan P2KP, proyek yang masuk kandang PNPM Mandiri adalah P2PDT (Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus), PPIP (Proyek Pembangunan Infrastruktur Pedesaan), dan PUAP (Program Usaha Agribisnis Perdesaan).

Jika PNPM Mandiri dikatakan sebagai strategi penanggulangan kemiskinan oleh Pemerintah, GAPRI justru menyimpulkan sebaliknya, bahwa PNPM Mandiri bukanlah jawaban strategis bagi upaya penghapusan kemiskinan di Indonesia. Selain terkesan sebagai proyek singkat seumur jabatan presiden. PNPM Mandiri justru menjadi kebijakan yang malah menghambat kaum miskin keluar dari kemiskinannya. Seandainya benar, PPK dan P2KP merupakan strategi terbaik dalam penanggulangan kemiskinan, maka dapat dipastikan penduduk miskin akan turun siginifikan pada tahun 2006 dan 2007. Namun hal ini tidak terjadi, dan semakin membuktikan bahwa PNPM Mandiri hanyalah kandang proyek yang tidak mampu menjawab penyebab kemiskinan. Setidaknya, argumen tersebut didasarkan pada bukti-bukti:

Pertama, target sasaran terbesar PNMP Mandiri ternyata bukanlah kaum miskin sesuai ukuran BPS, melainkan didominasi oleh mereka yang memiliki usaha dan mereka yang berkepentingan pada infrastruktur. Kondisi ini menyebabkan kaum miskin akan menikmati manfaat langsung lebih kecil daripada yang bukan miskin. Itupun lebih didominasi sebagai tetesan efek dari manfaat yang diterima oleh kelompok-kelompok yang tidak miskin.

Kedua, program-program PNPM Mandiri lebih didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal. Orientasi kedua bidang tersebut jelas bukan penyebab utama terjadinya kemiskinan. Bagaimana mungkin kaum miskin lebih dominan memiliki usaha dan kemudahan dalam mengakases pasar? Sementara untuk hak-hak dasar dalam keseharian saja tidak terpenuhi. Jika mendasarkan pada kemiskinan pedesaan, jelas faktanya bahwa sekitar 13 juta rumah tangga merupakan petani gurem. Demikian pula pada perkotaan, yang dibutuhkan adalah jaminan dan perlindungan dalam bekerja, seperti pedagang kaki lima dan buruh. Disinilah masalahnya, PNPM Mandiri tidak memiliki komitmen dalam memastikan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk diintervensi. Orientasi pada dua bidang tersebut jelas menunjukkan bahwa penanggulangan kemiskinan akan berjalan lambat, itupun terjadi jika ada tetesan efek.

Ketiga, PNPM Mandiri bukanlan pemberdayaan sebagaimana namanya. Bagaimana mungkin terjadi pemberdayaan dilakukan melalui proyek yang didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal? Dalam konteks penghapusan kemiskinan, pemberdayaan kaum miskin semestinya diarahkan pada perubahan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk mendapatkan dan mengaktualisasi hak-haknya. Ruang tersebut tampaknya kecil atau bahkan tidak ada dalam PNPM Mandiri, dan lebih didominasi oleh semangat usaha dalam kerangka pertumbuhan ekonomi.

Keempat, PNPM Mandiri mengklaim bahwa setiap kecamatan akan menciptakan lapangan kerja bagi 250 orang. Namun penciptaan lapangan kerja itu hanya bersifat sementara karena hanya berbentuk cash for work. Padahal apa yang disuguhkan oleh PNPM Mandiri adalah lapangan kerja semu yang tidak berorientasi jangka panjang. Setelah proyek selesai para pekerja pun akan menganggur lagi, miskin lagi. Namun, secara politis strategi ini akan diklaim sebuah prestasi yang bisa dijual bahwa pemerintah telah mengurangi pengangguran sehingga memperbaiki data pengangguran BPS.

Kelima, pendanaan PNPM Mandiri secara dominan dibiayai dari utang luar negeri, yang sampai saat ini tetap menjadi masalah dalam APBN. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan, dan menyerahkan penanggulangan kemiskinan kepada pihak luar untuk mengurusi kaum miskin. PNPM Mandiri pada dua tahun mendatang akan mencakup semua kecamatan dengan anggaran Rp 1 - 3 miliar. Itu artinya, penarikan utang akan terjadi lebih besar lagi. Utang luar negeri jelas menjadi beban dan menguras banyak keuangan negara yang semestinya dapat diarahkan pada penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Disinilah utang luar negeri menjadi sumber pemiskinan bagi bangsa ini. Dan bagaimana mungkin menanggulangi kemiskinan, sementara utang luar
negeri terus kita perbesar?

Keenam, PNPM Mandiri tidak konsisten dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang telah diluncurkan pada tahun 2005, dan diadopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) SBY-JK Bab XVI. SPNK semestinya menjadi acuan semua pihak dalam penanggulangan kemiskinan justru diabaikan dalam PNPM Mandiri. Pengabaian itu terbukti paradigma hak, pemisahan kelembagaan Tim Pengendali yang berdiri sendiri, koordinasi dan sinkronisasi antar departemen/kementer ian dan lembaga yang masih bekerja diluar tugas pokok dan fungsi. Misalnya, bagaimana mungkin Depdagri, Depertemen Pekerjaan Umum, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen mempunyai proyek infrastruktur dan saling menyalurkan kredit usaha kecil? Jika demikian, apakah tidak sebaiknya Kementerian Usaha Kecil
dan Menengah dibubarkan saja?

Dalam konteks penghapusan kemiskinan di Indonesia, GAPRI menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk konsisten dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), khususnya Bab XVI mengenai Penanggulangan Kemiskinan. Pada Bab tersebut, sangat jelas bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Berdasar pada Bab XVI sebagai aktualisasi visi-misi yang telah dibuat, adalah kewajiban bagi SBY-JK untuk merumuskan program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar menjawab penyebab utama kemiskinan, jaminan dan perlindungan atas hak pekerjaan, berorientasi jangka panjang, berbasis pembiayaan dalam negeri, sinkronisasi dan koordinasi aparat yang lebih baik, tentu saja tidak seperti PNPM Mandiri.

Abdul Ghofur
Gerakan Antipemiskinan Rakyat Indonesia

Penulis: ray

DESA, ENTITAS DEMOKRASI RIIL


Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan secara lebih khusus pemerintahan desa tidak dapat dipisahkan dengan beberapa variabel pengaruh, antara lain: derajat dan kualitas demokrasi, kapasitas (kelembagaan, sumber daya dan organisasi) pemerintahan (Pusat, daerah dan desa), tarik ulur kewenangan otonomi daerah antara pusat-daerah, kesadaran kritis para aktor demokrasi (birokrasi, parlemen, civil society, pers, dan lain-lain), perspektif keterbukaan pemerintahan dan relasi antara state, market serta civil society (negara, pasar dan masyarakat sipil).

Anggapan bahwa pemerintahan desa merupakan penyelenggara pemerintahan pada level “alas kaki”, merupakan pemahaman yang a-historis, reduksionalis dan illogic. Pandangan yang melihat bahwa “otonomi desa” (kini muncul pemahaman yang beragam) merupakan “anugerah” dari tindak karitatif negara, dan bukan kedaulatan asli (genuine) yang melekat pada eksistensi historis entitas yang bernama desa, merupakan kesalahan paradigmatik dan fallacy (cara berpikir) kronis.

Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubu-ngan dengan rakyat. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti sangat strategis sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Sejak masa penjajahan Hindia Belanda sekalipun, pemerintah kolonial telah menyadari peran strategis desa dalam konstelasi ketatanegaraan pada masa itu.

Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, salah satu aturan hukum pada masa kolonial, memberikan ruang demokrasi yang luas bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan hak-hak kultural desa, sistem pemilihan Kepala Desa, desentralisasi pemerintahan pada level desa, parlemen desa dan sebagainya.

Dibandingkan dengan pengaturan pada masa Hindia Belanda tersebut, sangat mengherankan setelah kemerdekaan muncul UU No. 5/1979, yang terbukti mengebiri hak-hak kultural, melakukan penye-ragaman (uniformisasi) dan sentralisasi pengelolaan desa. Akibatnya, desa dalam kurun waktu berlakunya UU tersebut terserap dalam dominasi kekuasaan negara, dan kehilangan ruh demokrasi kerakyatan.

Proses pembelajaran ulang demokrasi bagi desa melalui UU No. 22/1999, yang dinilai menghidupkan kembali ruh demokrasi di desa, ternyata tidak dapat berlangsung lama. Berlakunya UU No. 32/2004 yang memundurkan demokrasi di desa menyebabkan ditutupnya kembali katup demokrasi di desa. Spirit demokrasi dalam UU No. 22/1999 yang menghidupkan parlemen desa, telah dipasung oleh UU No. 32/2004. Desa kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara. Berbagai pemaksaan proyek pusat, distorsi pemberian SLT, penggusuran, dan sebagainya merupakan contoh aktual yang dapat ditunjukkan.

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa.

Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.

Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah.

Ditinjau dari sudut aliran pertanggungjawaban (legal accountabi-lity) penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penye-lenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.

Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.

Grand Strategi Implementasi Otonomi Daerah (Dalam Koridor UU No. 32/2004) yang dikeluarkan oleh Depdagri pada tahun 2005, memperlihatkan sangat minimnya komitmen Depdagri untuk menghidupkan kembali hakekat demokrasi desa. Grand Strategi versi Depdagri tersebut lebih banyak memperbincangkan kebijakan otonomi daerah pada level provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.

Menyikapi realitas kebijakan otonomi daerah yang ambivalen terha-dap demokrasi desa, desa hanya dapat mengharapkan adanya power sharing dari kabupaten dan pengendoran tarikan sentralisasi melalui perluasan pemberian tugas pembantuan (medebewind) dari provinsi. Langkah itu perlu ditempuh dengan diberikan legal framework melalui Perda provinsi ataupun kabupaten/kota. Tumbuhnya demokrasi pada level desa, sebenarnya menjadi sarana pembelajaran demokrasi yang sangat bernilai untuk mendorong menguatnya kehidupan demokrasi di kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya negara.***

Oleh : W. Riawan Tjandra (Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

LIBERALISM, CIVIC REFORMISM and DEMOCRACY

    This paper argues that liberalism provides democracy with the experience of civic reformism. Without it, democracy loses any tie-argumentative or practical-to a coherent design of public policy endeavoring to provide the resources for the realization of democratic citizenship. The case for liberalism rests on an argumentative reconstruction of the function it performs before the rise of a world economic order and, more specifically, in the creation of the welfare state after the Second World War. Accordingly, liberalism defines a reformist political program: it is an emancipatory political project by virtue of its struggle for an egalitarian and universalist extension of citizenship rights. This is but a formulation of the modern idea of citizenship, conceived of as a universalizable contract of rights. At the same time, liberalism embraces a socioeconomic emancipatory project that endeavors to provide the conditions, within the institutional framework of modern societies, for the accomplishment of citizenship rights.
    The origins of liberalism in the seventeenth century tell the story of the struggle for recognition of religious tolerance. This early form of pluralism provided the antecedent for the constitutional recognition of civil rights, interpreted in terms of universal adscription. A further step of constitution-building in liberal polities was taken when the universal principles of equality and liberty assumed the status of fundamental rights. That happened under the form of a constitutional program aimed at the improvement of the civil condition. Liberalism as a revolution of rights not only meant the conquest of civil rights by society, but also their extension by constitutional means. Both dimensions, the emancipatory and the egalitarian-universalist, gave form to the original liberalism.

    For its later history, liberalism owes as much to its antecedents (situated at the rise of parliamentary assemblies and of the rule of law in the Middle Ages), as to its linkages with the republican tradition of communal self-government (from the seventeenth century onwards), and with the socialist tradition in support for an egalitarian model of society (as from the eighteenth century). Indeed, it is this double tie what determines that the political history of liberalism belongs to the history of modern democracy: a representative democracy but, thereby, pluralist. The tie also explains that the economic history of liberalism cannot be separated from the birth of the welfare state.

    In both respects liberalism defines a reformist political program: it is an emancipatory political project by virtue of its struggle for an egalitarian and universalist extension of citizenship rights. This is but a formulation of the modern idea of citizenship, conceived of as a universalizable contract of rights. At the same time, liberalism embraces a socio-economic emancipatory project that endeavors to provide the conditions, within the institutional frame of modern societies, for the accomplishment of citizenship rights. Let us comment on this double characterization.

    By : José María Rosales - Universidad de Málaga
    Original Sources : http://www.bu.edu/wcp/Papers/Poli/PoliRosa.htm
    The complete article can be download here

ENGINEERING ELECTORAL SYSTEMS: POSSIBILITIES and PITFALLS



The choice of electoral system is one of the most important decisions that any political party can be involved in. Supporting or choosing an inappropriate system may not only affect the level of representation a party achieves, but may threaten the very existence of the party. But which factors need to be considered in determining an appropriate electoral system?
Rata Penuh
This publication provides an introduction to the different electoral systems which exist around the world, some brief case studies of recent electoral system reforms, and some practical tips to those political parties involved in development or reform of electoral systems. Each electoral system is based on specific values, and while each has some generic advantages and disadvantages, these may not occur consistently in different social and political environments. There is no ‘ideal’ electoral system that fits every environment. But they do have one thing in common: for a successful and sustainable electoral system development or reform process, it is crucial to involve the broadest section of society possible, rather than the ruling elites only.

2.1 What Is Electoral Engineering?
There has been increasing use of the term ’electoral engineering’ to describe the development and implementation of constitutional and legal provisions for electoral systems frameworks that are targeted at achieving specific societal goals. The more ‘engineering’ that has been done, the greater the realisation has been that the results are not always what have been intended.

In emerging democracies, the unsettled nature of party culture and systems, and the electoral system complexity that often arises out of the compromises necessary for post-conflict or post-authoritarian regime settlements, can intensify this unpredictability.

What are the key concepts and objectives of electoral engineering? What do political parties need to be aware of when they become involved in electoral system oriented constitutional and legal reforms – and in assessing expert advice on these?

By : Alan Wall and Mohamed Salih
Original Sources : NIMD
The complete local copy of article can be download here (.pdf)

PILKADA LANGSUNG: RESIKO POLITIK, BIAYA EKONOMI, AKUNTABILITAS POLITIK & DEMOKRASI LOKAL

Proses demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru ditandai oleh beragam disain kelembagaan untuk mempercepatnya.Para aktor yang terlibat di dalamnya, barangkali diilhami oleh para penganut pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) yang berpandangan bahwa pilihan disain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara itu memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki. Dua ilmuwan politik yang tergolong pelopor pendekatan kelembagaan baru, James March dan Johan Olsen pernah mengatakan, ‘political democracy depends not only on economic and social conditions but also on the design of political institutions’ (March dan Olsen 1984:738).

Pada babak awal, disain kelembagaan yang ditempuh untuk menumbuhkan demokrasi adalah melalui pembukaan kran sistem multi partai, dan adanya pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Disain ini dirancang untuk memenuhi kriteria prosedural dari demokrasi (Dahl 1971). Disain lainnya adalah pemberian kekuasaan dan otoritas yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR/D). Maksudnya, untuk menciptakan situasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif.

Faktanya, disain semacam itu belum cukup kuat menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih substansial, khususnya berkaitan dengan adanya responsibilitas, akuntabilitas dan transparansi para pejabat politik (elected officers), baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Dalam berbagai kesempatan kita mendengar, kekuasaan yang besar kepada lembaga perwakilan, misalnya, juga kerap disalahgunakan oleh para wakil rakyat (abuse of power).

Untuk menutupi kekurangan semacam itu, disain lanjutan telah diberkenalkan. Sejak 2004, presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan oleh rakyat secara langsung. Di daerah, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati atau wali kota), sejak 1 Juni 2005, juga diserahkan kepada rakyat secara langsung.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memperbincangkan implikasi disain kelembagaan pilkada secara langsung terhadap demokratisasi di daerah. Perbincangannya dikaitkan dengan resiko politik dan biaya ekonomi yang mengikutinya, berikut konsekuen-konsekuensinya. Sebelumnya, diperbincangkan pentingnya demokratisasi di daerah. Setelah itu, diarahkan untuk memperbincangkan konflik-konflik yang menyertai. Bagian selanjutnya, memperbincangkan modal yang (harus) dimiliki calon, dan biaya yang harus dikeluarkan. Implikasi ekonomi politik dari biaya itu diperbibcangkan pada bagian berikutnya.Terakhir, refleksi demokrasi setelah adanya Pilkada secara langsung.


Artikel Lengkap dapat di akses di sini (.pdf)

Penulis: Kacung Marijan - Guru Besar Fisip Universitas Airlangga.

OTONOMI DAERAH: ALAT KONGLOMERASI INTERNASIONAL


Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?

Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.

Empat Problem Otonomi Daerah

Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.

Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.

Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.

Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.

Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.

Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.

Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.

Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.

Solusi Syariah

Selain konsep otonomi daerah, alternatif solusi lain yang dalam dekade terakhir mulai menjadi bahasan banyak pihak untuk memperbaiki kesejahteraan negeri ini adalah konsep ekonomi syariah. Hanya saja, sebenarnya kita perlu membahasnya secara lebih makro, yaitu solusi syariah secara makro untuk negara. Selain terasa janggal jika rakyat Indonesia yang mayoritas muslim tidak pernah mencoba membahas tentang solusi syariah, solusi syariah sendiri secara paradikmatik-empirik mempunyai beberapa kekuatan. Solusi syariah secara makro juga mempunyai pandangan khas tentang desentralisasi. Terdapat beberapa hal yang menjadi kebijakan negara berdasar solusi syariah.

1. Sentralisasi Politik

Selama ini orang umumnya trauma jika berbicara tentang sentralisasi. Semua itu bisa dipahami jika mengingat sentralisasi di jaman Soeharto (Orde Baru). Namun sentralisasi dalam syariah cukup berbeda dengan sentralisasi orde baru. Sentralisasi orde baru cukup ekstrim. Pemerintah pusat bukan hanya merupakan atasan pemerintahan di bawahnya. Tapi juga mempreteli kekuasaan di bawahnya dan mencengkeram dengan sangat kuat berbagai bidang operasional daerah dengan berbagai departemennya. Sentralisasi dalam syariah lebih menekankan agar negara berada dalam satu kesatuan politik. Ini dilakukan dengan cara khalifah (kepala negara) mempunyai akses komando atas pemerintahan di bawahnya, berhak mengangkatnya, dan berhak memberhentikannya. Sedangkan kekuasaan yang langsung dipegang pemerintah pusat itu sendiri lebih pada kekuasaan yang tidak bersifat operasional dan administratif, seperti militer, kepolisian, luar negeri, ekonomi kebijakan, dan keuangan.

Dalam pemerintahan Islam biasa dikenal wali zakat dan wali sholat. Wali zakat adalah gubernur keuangan dalam tiap-tiap provinsi, yang menjadi saluran input keuangan dari daerah ke pusat. Sementara wali sholat adalah gubernur sebagaimana dalam pengertian sekarang, yang memikirkan urusan rakyat dengan anggaran yang dibutuhkan –- hanya saja dalam Islam anggaran meminta ke pusat sesuai kebutuhannya. Ini berarti sektor input dan output keuangan berada dalam jalur yang berbeda. Kondisi ini diharapkan akan menguntungkan daerah dalam beberapa hal: komando pusat, anggaran yang jelas, lebih bersih dari politisasi dalam amsalah operasional, dan lebih terjaga dari korupsi. Bagi negara secara keseluruhan lebih utuh secara politik.

2. Kontrol Pemerintahan yang Sehat

Gambaran pemerintahan dengan strukur pohon di atas barangkali memunculkan kekhawatiran. Yaitu: kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan kurangnya partisipasi publik dan partisipasi daerah. Hal ini sebenarnya bisa dihindari dengan fakta bahwa syariah lebih menekankan agar pemerintah pusat dikontrol, bukan dipreteli kekuasaannya. Beberapa hal yang disiapkan syariah untuk menciptakan kondisi ini adalah: 1) Larangan memberhentikan mahkamah mazhalim (pimpinan peradilan negara) ketika sudah mendapat aduan tentang pemerintah; 2) Anggota majelis umat (dewan perwalikan) dipilih langsung oleh rakyat; 3) Majelis Umat terdapat di pusat, provinsi,dan daerah. Mereka merupakan lembaga kontrol dan masukan; 4) Partai politik bebas berdiri sepanjang berdasarkan syariah Islam, tugasnya bukan mencari kedudukan tapi mengontrol pemerintahan dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Jadi, berdasar syariah pemerintah pusat “dipaksa kuat, tapi juga dijaga supaya waras”. Kondisi ini juga lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat untuk “mempunyai pemerintahan yang baik”, bukannya “ingin memerintah sendiri”.

3. Desentralisasi Administrasi

Sungguhpun berlaku sentralisasi politik, tapi administrasi terdesentralisasi. Berbagai bidang operasional seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kebutuhan publik menjadi tanggung jawab daerah. Dengan melihat fakta bahwa daerah tidak menjadi jalur input keuangan tapi jalur output pelayanan, maka rakyat akan merasakan manfaat desentralisasi. Desentralisasi tidak akan dirasakan sebagai “naiknya karcis parkir” dan “melambungnya pajak” seperti saat ini. Desentralisasi akan dirasakan sebagai kecepatan dalam pelayanan.

4. Orientasi Pemerataan

Berbeda dengan sistem ekonomi yang ada sekarang yang menganggap masalah ekonomi adalah kelangkaan, penanganan kelangkaan butuh produksi, pelaksanaan produksi butuh korporasi, kelancaran korporasi butuh peran pemerintah sebagai fasilitator korporasi; sistem ekonomi Islam mempunyai filosofi berbeda. Sistem ekonomi Islam berdasarkan filosofi tersendiri, yaitu masalah ekonomi adalah kurangnya distribusi, pelaksanaan distribusi butuh peran negara, peran negara butuh kebijakan yang adil, kebijakan yang adil butuh rujukan syariah. Kenyataannya, syariah memang sangat mengatur masalah distribusi: 1) Zakat untuk mengembalikan fakir, miskin, dan gharim (penghutang) kembali ke titik nol; 2) Seluruh sumber daya alam adalah milik umat dan dipakai untuk sesejahteraan umat sedangkan negara sekedar pengelola; 3) Kebijakan agraria yang sangat melindungi petani, seperti larangan menganggurkan tanah tiga tahun, penyitaan negara atas tanah yang dianggurkan, serta kebolehan memagari tanah kosong.

Sedikit contoh paradigma syariah Islam dalam kehidupan bernegara itu kiranya bisa menjadi pertimbangan baru untuk mengambil langkah yang tepat untuk negeri ini.

Sumber: http://jurnal-ekonomi.org

2 JENIS GAS MEMPERBURUK EFEK RUMAH KACA

Selain karbon dioksida, ada dua gas lagi yang dikhawatirkan mempercepat pemanasan global lebih buruk lagi. Keduanya adalah metan dan nitrogen triflorida yang berasal dari tanaman purba dan teknologi layar flat-panel.

Menurut para pengamat lingkungan, kedua gas tersebut menimbulkan efek rumah kaca seperti karbon dioksida. Bahkan, kedua gas tersebut memberi efek hampir sama dari yang disebabkan karbondioksida. Penelitian terbaru menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir efek kedua gas tersebut semakin meningkat di luar perkiraan. Para pengamat cuaca juga terkejut dengan peningkatan tersebut.

Selama ini gas metan masih menjadi kekhawatiran terbesar setelah karbon dioksida. Pasalnya, gas tersebut dianggap sebagai gas efek rumah kaca kedua setelah karbon dioksida berdasar besarnya efek pemanasan yang dihasilkan dan jumlahnya di atmosfer. Gas metan menyumbang sepertiga dari efek karbondioksida terhadap pemanasan global.

Metan berasal dari gas alamiah, pertambangan batubara, kotoran hewan dan tumbuhan yang telah membusuk. Hal yang paling dikhawatirkan para ilmuwan adalah tumbuhan yang membusuk. Beberapa ribu tahun yang lalu, miliaran ton metan terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan Arktik di Kutub Utara. Tumbuhan itu membusuk dan membeku di dasar laut. Saat kutub utara mulai menghangat, metan yang tersimpan di dasar laut itu dapat mempercepat pemanasan di kawasan itu.

Para ilmuwan telah berupaya untuk mempelajari bagaimana proses tersebut akan bermula. Saat ini data yang terkumpul masih berupa data awal, belum ada kesimpulan. Tetapi para ilmuwan tersebut mengatakan apa yang mereka lihat di awal ini adalah permulaan pelepasan metan di kutub utara.

Berdasar pengamatan mereka, dalam delapan tahun terakhir kadar metan di atmosfer masih stabil yang diperkirakan setiap 40 menit oleh monitor pengawas dekat tebing di tepi laut. Tetapi pada 2006 hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan. Jumlah gas metan di udara melonjak dari sekitar 28 juta ton pada Juni 2006 hingga Oktober 2007. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 5,6 miliar ton metan di udara.

"Jika hal ini terus terjadi, maka akan buruk efeknya," tutur ilmuwan atmosfer MIT Ron Prinn, kepala studi metan, seperti yang dipaparkannya dalam jurnal Riset Geofisik edisi 31 Oktober. "Saat kadar metan terus meningkat, tentunya akan mempercepat perubahan iklim," tuturnya.

Diremehkan

Di lain pihak, kadar nitrogen triflorida di udara diperkirakan meningkat empat kali lipat beberapa tahun terakhir dan 30 kali lipat sejak 1978. Namun, peningkatan tersebut hanya menyumbang 0,04 persen dari total efek pemanasan global yang disebabkan oleh karbondioksida. Gas ini biasanya digunakan sebagai semacam pembersih pada industri manufaktur televisi dan monitor komputer serta panel.

Nitrogen triflorida yang dihiting dengan skala bagian per triliun di udara selama ini memang dianggap ancaman tak berarti. Menurut profesor geofisika Ray Weiss di Lembaga Oseanografi, upaya awal untuk mengetahui jumlah gas tersebut di udara memang diremehkan mengingat jumlahnya yang tak terlalu besar.

Tetapi gas tersebut justru dikategorikan sebagai salah satu gas yang lebih berbahaya karena ratusan kali lebih kuat menyimpan panas daripada karbondioksida. Sedangkan metan hanya 20 kali lebih berbahaya dari karbondioksida per basis molekul. Karbondioksida masih menjadi gas yang paling berbahaya karena kadarnya yang sangat tinggi dan pertumbuhannya yang cepat.

Menurut ilmuwan lingkungan Orjan Gustafsson dari Universitas Stockholm, sebuah survei di musim panas ini menemukan kadar metan di Laut Siberia timur meningkat dari 10.000 kali lebih tinggi dari kadar normalnya. Ilmuwan di bidang lingkungan Stephen Scheneider dari Universitas Stanford juga memperingatkan peningkatan dua gas tersebut adalah fenomena baru.

"Kita perlu yakin dengan semua hal baru ini sebagai kecenderungan global yang perlu diwaspadai," ujarnya.

Sumber : www.kompas.com

3 Stakeholder Pembangunan

Akademisi, Bisnis dan Pemerintahan



Kondisi daya beli bangsa (GDP) saat ini yang tidak beranjak naik harus diakui, karena kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terpuruk dan tidak ada yang merancang secara komprehensif tentang nasib SDM kita mendatang di tengah-tengah persaingan global. Tingkat GDP berkorelasi positif dengan lama sekolah. Di Indonesia, hingga Februari 2007, dari sekitar tujuh ratus ribu orang penganggur berpendidikan tinggi, hampir 60% atau lebih dari empat ratus ribu penganggur berpendidikan sarjana. Jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan D-1 dan D-2 yang menganggur yang hanya 21% dari jumlah penganggur berpendidikan tinggi atau lulusan D-3 yang hanya 25%-nya. Saat ini penduduk Indonesia baru 18% yang menjadi mahasiswa dan temuan yang membuat kita miris, ternyata makin tinggi pendidikan, makin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya. Hampir seluruh lulusan sarjana, lebih dari 80%, memilih menjadi karyawan dan hanya sekitar 4% yang membuka usaha sendiri setelah lulus. Dari data ini, pertanyaannya, ada apa dengan pendidikan tinggi kita ?

Di sisi lain, dunia usaha menuntut kualitas SDM yang sesuai dengan perubahan paradigma bisnis yang sedang berkembang. Pada masa post industries, perusahaan mengarah pada small companies yaitu perusahaan yang ramping dalam kuantitas personel, namun tinggi mobilitasnya dan punya keahlian yang spesifik. Mereka mensyaratkan orang-orang tersebut harus mampu berkomunikasi, juga memiliki kompetensi dan kepribadian yang siap untuk belajar tahu, belajar bekerja dalam tim, belajar mandiri, serta motivasi yang kuat.

Tantangan dan perkembangan dunia usaha yang bergerak cepat bagai deret ukur, ternyata tidak berimbang dengan pergerakan perguruan tinggi bagai deret hitung; sehingga sulit untuk matching. Tentunya untuk menjawab permasalahan ini, diperlukan sinergitas dari kalangan akademisi, pengusaha, dan pemerintah, atau istilah lain sinergitas ABG (Academic-Business-Government) sebagai solusi kunci dalam akselerasi kemajuan bangsa.

Perspektif pendidikan

Dalam perspektif pendidikan, visi perguruan tinggi, pertama, bertugas menghasilkan modal insani lewat pembelajaran dan inovasi, riset dan pengembangan. Kedua, kampus perlu strategi meningkatkan daya saing dengan menetapkan keunggulan lokal, pengelolaan riset, efisiensi, dan penetapan anggaran. Ketiga, perguruan tinggi perlu pengelolaan dana riset kemitraan dan berkelanjutan. Keempat, pola pikir lembaga riset dan pengembangan perguruan tinggi, dituntut adaptif terhadap perubahan zaman. Walaupun perguruan tinggi umumnya terbatas dana untuk riset, namun bukan berarti menjadi "peminta-minta" pada pemerintah atau industri. Justru perguruan tinggi umumnya dapat menemukan keunggulan lokalnya, namun selalu "kalah cepat" untuk mengembangkan temuan-temuannya dibandingkan dengan rekan industri. Di sini diperlukan kerja sama kemitraan dengan pemerintah pusat maupun daerah serta industri yang didasari saling menghargai.

Pengalaman belajar di kampus (learning experience) seharusnya tidak sekadar mendapat pengetahuan akademik, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran alternatif, seperti kepemimpinan, kreativitas, serta kepedulian. Kampus juga menjadi tempat untuk mendapat pengalaman lintas budaya. Selanjutnya, kampus juga mengajarkan mahasiswa agar harus punya rasa melayani.

PTN/PTS di Indonesia yang sudah mengacu pada kualitas, adalah mereka yang berorientasi pada RAISE+ LEAP, yaitu singkatan dari : Relevance-Academic atmosphere-Internal management-Sustainability-Efficiency & Productivity + Leadership-Equity-Accessibility-Partnership. Makna dari singkatan ini mengacu pada bagaimana sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi yang harus dijalankan. Dimulai dari relevansi program studi yang tersedia dengan kebutuhan dunia kerja. Kemudian atmosfer akademik harus diciptakan, sehingga suasana kampus diwarnai aktivitas ilmiah, seperti diskusi kecil, bedah buku, belajar, dan sejenisnya. Untuk itu, manajemen internal yang sementara ini bisa bersisi dua, memperkuat kelembagaan atau justru sebaliknya. Kesinambungan merupakan kata kunci dalam menjalankan program di perguruan tinggi, sehingga hasilnya tampak dan terukur. Adapun proses ketika menjalankan perguruan tinggi, harus senantiasa mengacu pada efisiensi dan produktivitas.

Terdapat asas yang tidak bisa ditinggalkan dalam dunia kampus, yang mungkin tidak ditemukan persis sama di pemerintahan atau dunia industri, yaitu kepemimpinan yang kuat, kesetaraan di antara civitas academica, kemudahan dan kesiapan untuk memfasilitasi serta kemitraan yang kuat.

Renstra pendidikan saat ini adalah menciptakan, Insan Cerdas Komprehensif dan Kompetitif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, serta cerdas intelektual.

Cerdas spiritual adalah mengolah hati, yakni beraktualisasi diri dengan mengolah kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Reaktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.

Cerdas emosional adalah beraktualisasi melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Kecerdasan ini dicapai melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.

Cerdas intelektual diwujudkan dengan aktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menghasilkan insan intelektual yang kritis, kreatif, dan imajinatif.

Cerdas kinestetis yakni beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan trengginas sehingga menghasilkan insan adiraga.

Persoalan pemda

Di sisi lain, pemerintah daerah saat ini dihadapkan pada persoalan yang kompleks karena perubahan di berbagai lini dan sektor di masyarakat. Permasalahan yang sedang dihadapi, yaitu pengangguran, kemiskinan, perluasan lapangan kerja, pengrusakan lingkungan, wilayah yang terisolasi, kompetisi dengan wilayah lain/kompetisi global, dan masalah lain yang memerlukan pendekatan pemecahan yang bersifat scientific approach. Artinya, solusi berdasarkan riset, kajian, dan pengelolaan yang profesional, dapat menggandeng perguruan tinggi yang core business-nya ada pada Tridharma (pendidikan-penelitian-pengabdian pada masyarakat).

Posisi pemerintah (pemda) ada pada pemerataan pembangunan dan pelaksanaan program serta penyediaan infrastruktur sebagai pelayanan kepada publik. Pemerintah membutuhkan perguruan tinggi untuk mengawal program tertentu sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Masalahnya, dalam tataran faktual, ujung tombak perangkat pemerintahan di desa, SDM-nya tidak mendukung. Contoh, saat ini minim sekali kepala desa yang memenuhi kualifikasi pendidikan yang distandarkan oleh peraturan. Oleh karena itu, menjadi berat ketika harus meningkatkan perekonomian melalui pembimbingan dengan memanfaatkan modal insani dan inovasi iptek yang berasal dari perguruan tinggi, disebabkan ada gap of knowledge.

Kondisi dunia usaha

Selanjutnya, secara normatif dunia industri sudah memiliki rambu-rambu penyelenggaraan dalam pasal 74 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Artinya, sebagai lembaga komersial, dia tetap diwajibkan untuk peduli terhadap kehidupan sosial dan lingkungan di mana dia menjalankan usahanya.

Secara khusus, harapan pemerintah dan perguruan tinggi, ketika memandang dunia usaha bahwa dalam pencapaian target urusan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan diupayakan bersinergi dengan aneka kegiatan program pada dunia usaha dalam skema Corporate Social Responsibility (CSR). Sehingga untuk percepatan dan peningkatan mutu serta akuntabilitas perencanaan dan implementasi pembangunan, keterlibatan dan peran serta perguruan tinggi, lembaga penelitian dan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan daerah menjadi mutlak adanya. Di sini tampak CSR masih berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi dengan pemerintah maupun kalangan akademisi.

Di dunia usaha sendiri, terjadi evolusi kebutuhan SDM. Tahapannya, dulu industri perlu SDM yang murah (terjangkau) untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Kemudian SDM yang memiliki skill agar dapat menopang daya saing usaha, ini untuk mendukung perusahaan yang berorientasi produk. Selanjutnya, diperlukan SDM yang memiliki kemampuan ikut mengembangkan usaha, ini ketika perusahaan menjadi small companies yang menuntut tingginya sense of belonging para personelnya. Perubahan berlanjut pada kebutuhan yang melibatkan SDM di luar korporat untuk mengembangkan sektor usahanya. Evolusi ini, harus diantisipasi juga oleh perguruan tinggi, sehingga prediksi-prediksi peta kebutuhan SDM industri 5-10 tahun mendatang sudah diantisipasi.

Pertama, membangun linkages (keterhubungan) institusi antara pemda dengan perguruan tinggi yang ada di Jawa Barat berbasiskan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; program-program pembangunan sektoral atau bidang kesatuan organisasi swasta, sosial kemasyarakatan serta meningkatkan linkages dengan institusi-institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif pada tingkat pusat dalam kerangka pembangunan di Jawa Barat. Kedua, perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan rekomendasi sebagai hasil pemikiran dalam konteks pembangunan multisektor di Jawa Barat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki perguruan tinggi kepada pemerintah daerah. Ketiga, perguruan tinggi diharapkan menjadi fasilitator pembangunan antara pihak yang ingin berinvestasi di Jawa Barat, dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dalam komunikasi rasional berbasis ilmu pengetahuan dan kepercayaan investor. Keempat, membantu mengakselerasikan organisasi pemerintah menjadi learning organization dan knowledge base organization yang mampu memecahkan berbagai permasalahan pemerintah. Kelima, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat memberikan dukungan dana dan sarana untuk memerankan perguruan tinggi menjadi mitra kerja pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota. Keenam, mengondisikan interaksi yang bersifat setara antara institusi pemerintah provinsi dengan institusi perguruan tinggi untuk dapat menganalisis permasalahan secara transparan dan mengusulkan solusi yang bersifat relevan dan efektif.***

Penulis, Direktur Akademik Ditjen Dikti Depdiknas.

Sumber:http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=33336