
Sistem Kepartaian dan Pemerintahan yang Kuat
Jurnal Nasional - Perlu dibangun desain sistem kepartaian dan pemilu yang mengarah pada sistem multipartai sederhana, yang konsisten dan memungkinan check and balance.
Jumlah partai politik peserta pemilu bertambah lagi pada Pemilu 2009 mendatang yakni 34 parpol. Sebelumnya hanya 24 Di Pemilu 2004, turun dari 48 parpol pada Pemilu 1999. Naiknya parpol peserta pemilu untuk Pemilu 2009 paling tidak disumbang oleh beberapa sebab. Pertama, parpol lama yang mendapat kursi di DPR (meskipun hanya satu kursi) otomatis lolos akibat aturan peralihan dalam UU No.10/2008 yang membabat ketentuan Electoral Treshold sebagaimana diatur pada UU No.12/2003. Kedua, lolosnya parpol baru setelah hasil verifikasi KPU. Bagaimanapun jumlah peserta pemilu yang kembali meningkat ini adalah hasil dari kerangka hukum pemilu kita sendiri yang dihasilkan DPR dan Pemerintah. Pertanyaannya adalah, apa sesunguhnya desain sistem partai politik kita? Bagaimana hubungannya dengan jalannya pemerintahan ?
Sistem Kepartaian
Dalam literatur dikenal beberapa sistem kepartaian yang berlaku di berbagai negara yakni nonpartisan system, single-party systems, dominant-party systems, Two-party systems, dan Multi-party systems. Tidak semua negara sepakat dalam menggunakan sistem itu. Beberapa negara yang menjalankan sistem multi partai tetapi kenyataannya hanya satu partai yang dominan seperti Singapore dengan PAP-nya atau seperti Indonesia di masa Orde Baru dengan Golkar. Negara-negara lain (yang juga multi partai) seperti Amerika Serikat, dalam kenyataannya menggunakan two dominant-party system dengan Partai Republik dan Demokrat. Hal yang sama terjadi di Inggris dengan Partai Buruh dan Konservatif.
Pertanyaanya, bagaimana dengan Indonesia? Pertama, kalau kita amati maka Indonesia menganut sistem multi partai. Dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Sistem pemilu yang menyediakan banyak kursi di setiap daerah pemilihan menyebabkan partai yang tidak meraih suara terbanyak masih menikmati kursi sisa.
Kedua, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Sistem ET yang baru yang disebut Parliamentary Treshold (PT) yakni hanya partai yang meraih 2,5 persen suara sah saja yang punya wakil, ternyata dijalankan dengan tidak konsisten yakni hanya untuk DPR saja, sementara DPRD tidak. Dengan demikian banyak partai masih tetap memaksa berdiri paling tidak mendapat kursi di DPRD.
Ketiga, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya.
Keempat, terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni Partai Golkar dan PAN.
Keempat partai ini sama-sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.
Parpol dan Pemilu 2009
Mendirikan parpol merupakan hak yang mesti dijamin. Tetapi untuk ikut serta dalam pemilu seharusnya hanya parpol yang mendapat dukungan memadai saja yang bisa. Jika semua parpol bisa ikut tanpa pembatasan, betapa mahal dan rumitnya proses pemilu. Konsistensi merupakan hal penting. Sistem PT yang sudah ditetapkan diharapkan dapat diterapkan konsisten. Jangan sampai pada pemilu berikutnya sudah dianulir lagi. Sistem ET yang lamapun kenyataannya bisa dilewati parpol yang tidak mendapat dukungan, yakni dengan mengubah nama partainya.
Sementara sistem PT berjalan tidak konsisten, hanya berlaku di DPR dan tidak di DPRD. Hal ini masih ditambah kelemahan pada penetapan peserta pemilu 2009 yakni tidak adanya pengawasan yang memadai. Pengawas baru lahir di pusat (Bawaslu), dan di dua atau tiga provinsi dan kabupaten/kota. Bagaimana bisa dijamin parpol-parpol yang seharusnya tidak memenuhi syarat ternyata lolos? Kalau parpol yang gagal, mereka bisa protes ke KPU atau pengadilan, tetapi parpol yang sebetulnyaa tidak memenuhi syarat, siapa yang akan protes ?
Tentu saja yang paling menganggu, adalah model koalisi yang membingungkan dan pragmatis sebagaimana disinggung di atas. Melihat ketentuan dalam kerangka hukum kita, hal itu tampaknya tidak akan banyak berubah pada Pemilu 2009 mendatang. Kecuali apabila dibangun desain sistem kepartaian dan pemilu yang mengarah pada sistem multi partai sederhana, yang konsisten dan memungkinan check and balance. Dalam konteks itu, pemerintahan akan lebih fokus dan tidak terganggu oleh koalisi di dalamnya. Pemerintah akan jelas menjawab setiap kritik dari parpol oposisi saja. Hal ini akan memudahkan rakyat menilai pemerintah atau oposisi yang memiliki jawaban tepat untuk problem-probem yang dihadapi.
Topo Santoso, Advisor Kemitraan dan Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (kemitraan.or.id)
0 comments:
Post a Comment