METAMORFOSIS

:::Hanya catatan kecil & kliping artikel:::

More About Me...

hanya seorang anak manusia yang sedang belajar memaknai hidup, tapi ada yang pernah bilang "jangan hanya bisa mencari makna, tapi lakukan sesuatu untuk menemukannya", dan ada lagi yang bilang bahwa manusia yang hanya berorientasi pada makna maka dia akan selalu terjebak di masa lalunya dan selalu ragu dengan masa depannya. akhirnya saya memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya, biar lebih hidup!

Another Tit-Bit...

seseorang pernah mengatakan "kalo ada sesuatu yang bisa dilakukan sekecil apapun, jika diawali dengan baik mungkin hasilnya akan besar"

Solidarisme dan Laissez Faire

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume II Edisi No. 53 Tanggal 27 Oktober 2008
Oleh: Sukasah Syahdan

Pada mulanya solidaritas atau solidarisme* (S) sebagai doktrin politik berangkat dari visi yang mirip dengan ideal pasar bebas laissez faire (L). Semua individu anggota masyarakat sama berkepentingan dan punya memiliki kepentingan sama dalam berekonomi, dalam berumah-tangga sehari-hari. Rona egalitarian di kedua wajah masing-masing menyiratkan keyakinan bahwa penyelenggaran sistem ekonomi masyarakat paling baik adalah yang tidak memandang bulu, tidak memfavoritkan satu golongan di atas kelompok lain.

Romantisme idaman S diletakkannya di atas pengakuan bahwa produktivitas ditentukan oleh faktor-faktor produksi. Keyakinan S semakin mendalam dengan diperlihatkannya bukti-bukti nyata “kegagalan” doktrin induk yang lebih keras pada suatu masa yang belum terlalu jauh dari jaman kita, yang pernah ingin melenyapkan sepenuhnya individualitas ke dalam konstruk sosial masyarakat tanpa kelas. Dengan keyakinan barunya, kepemilikan terhadap faktor produksi tidak boleh diseragamkan secara komunal, sebab hal tersebut akan membuahkan petaka kemanusiaan dan kehancuran peradaban.

Sementara itu, dalam hal kinerja ekonomi, kelugasan L yang sering dikatakan “kasar” pula kurang romantik, adalah keandalan yang nyaris niscaya selalu dapat diulangnya; dia berpegang pada bukti, bukan janji, dan sejarah terbukti berpihak kepadanya sebagaimana teori yang solid dapat “mendahului” pengalaman di masa depan. Konsistensi L mengatakan kepada benak-benak yang mampu memahami keindahan pasar dalam “spontanitasnya”: tidak perlu ada seorang Ani untuk memerintah si Anu.

Kalaupun mereka yang meyakini L sering terkesan berbeda pandangan, itu cerminan konsekuensi logis dan ekspresi kemandirian akal dan kehendak bebas di dalam sistem di mana kebebasan dan supremasi individu tumbuh subur tanpa mengenal kultus kenabian individu atau kultus institusional manapun. Terlepas dari perbedaan dalam ekspresi-ekspresi tersebut, pada hakekatnya semua setuju akan satu hal: perlunya meminimasi struktur pemerintahan. Sebagian memandang perlu minarkisme, sebagian menampik sepenuhnya pemerintahan untukmemeluk anarkisme. Tugas pemerintahan terbatas untuk melindungi hak milik pribadi dan kebebasan berekonomi si Ani, si Anu dan jutaan individu lain seperti mereka.

Hingga pada suatu ketika S berkata, “Maaf L, tatanan sosial berdasarkan kepemilikan pribadi semata sebagaimana kamu yakini, kuragukan mampu merealiasikan mimpi-mimpiku.” Di persimpangan jalan itu mereka bertatapan.

Sejumlah “pandito” gadungan pendukung S di tepi jalan bersorak sambil meneriaki bahwa L tidak punya mekanisme built ini untuk mengatasi kesenjangan dalam berproduksi. L tidak bisa mendistribusi hasil produksi secara adil, kata mereka, entah dari mana datangnya kesimpulan ini sebab ilmu kepanditaan sejati justru menyimpulkan sebaliknya. Namun, S pun seperti mendapat justifikasinya. Terus berjalan bersama adalah kemustahilan, demikian simpulnya, yang langsung diamini para pandito.

Sebagai varian doktrin egalitarian yang menekankan equality, S mengibaratkan kehidupan dengan perlombaan di mana atas nama prinsip keadilan atau fairness setiap peserta harus berbekal sepadan dan memulai dari titik awal yang sama. Doktrin perlindungan terhadap hak milik pribadi semata dianggap tidak mampu memenuhi prinsip ini. Karenanya, diperlukan aturan-aturan khusus dari institusi yang khusus pula.

Kata sebagian pendukung S, visi ini adalah pengejaran yang moral. Perlu jalur legal berupa ayoman pemerintah. Pemerintah adalah hukum, maka salah atau benar, sepak terjangnya senantiasa legal. Agar konstitusi lebih dari sekadar alat, dia butuh sakralisasi lewat mitos, sanksi atau koersi. Banyak pula yang menambahkan, sebaiknya S dipermantap dengan dalil-dalil teologis. Mewajibkan orang lain untuk menyerahkan sedikit banyak hak milik untuk menolong sesama itu patut didukung lewat metode apapun. Demikian S merangkul eklektisme untuk perjuangan sebuah moral cause bersama.

*

Mungkin berlebihan dan agak mengejutkan jika sekonyong-konyong disimpulkan di sini bahwa implementasi doktrin egalitarian S oleh negara akan berakhir sebagai proyek-proyek yang mengerdilkan individu manusia, sebagai satu-satunya makluk yang mengenal moralitas, dalam mengexercise kemanusiaannya. Namun, begitulah kesimpulan praksiologisnya. Tinjauan lebih jauh dan contoh blunder legislasi terhadap hal ini telah dibahas (di sini dan di sini) dalam Jurnal ini.

Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan seputar pengejaran S oleh negara harus dikembalikan kepada pendukungnya, termasuk para pandito yang mengklaim bahwa perekonomian laissez faire hampa moralitas dan tidak mengenal mekanisme keadilan. Apakah yang moral dari tindakan yang berasal dari ketiadaan pilihan? Apakah yang etis dalam suatu keharusan di bawah ancaman? Di mana letak keadilannya?

Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Frédéric Bastiat, seorang ekonom yang berasal dari sebuah negeri di mana S berupa Fraternity pernah nyaring digaungkan:[1]

“Jika setiap orang berhak mempertahankan-bahkan dengan menggunakan kekerasan-dirinya sendiri, kebebasan dan hak miliknya, maka dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang juga berhak berorganisasi dan menggalang kekuatan bersama untuk melindungi hak-hak tersebut secara konstan. Maka prinsip hak kolektif-sebagai alasan bagi keberadaan dan legalitasnya sendiri-didasari pada hak individu. Dan himpunan kekuatan bersama yang bertujuan melindungi hak kolektif tersebut secara logis tidak memiliki alasan ataupun misi lain apapun kecuali untuk kepentingan yang disubstitusikannya. Dengan demikian, oleh karena seorang individu tidak dapat secara legal mengambil secara paksa diri, kebebasan atau hak milik seorang individu lainnya, maka himpunan kekuatan bersama-atas alasan yang sama-juga tidak dapat secara legal digunakan untuk menghancurkan diri, kebebasan dan hak milik individu atau kelompok lain.”

0 comments:

Post a Comment