
BABAK BARU REFORMASI TATA ATURAN DESA
Pengaturan khusus UU desa tentu merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Dengan merujuk pada naskah akademik yang telah dikeluarkan oleh Depdagri tulisan ini berusaha memaparkan kemungkinan babak baru dinamika governance di level desa. Sebagaimana diketahui, desentralisasi dan demokratisasi sejak era reformasi (1998) telah membawa desa ke dalam suatu fase baru setelah sekian lama berada dalam arena sentralisme kekuasaan yakni bergulirnya wacana otonomi desa dan pelaksanaan sistem demokrasi representatif melalui hadirnya lembaga legislatif desa yakni Badan Perwakilan Desa (BPD) melalui UU No. 22 tahun 1999. Pada masa ini, berbagai kejutan sosial, letupan politik dan konflik antar institusi baru timbul, sesuatu yang lumrah dalam era keterbukaan setelah panjangnya dominasi dan kontrol negara. Sayangnya, berbagai dinamika itu disikapi secara ‘keliru’ oleh pemerintah melalui revisi UU tersebut menjadi UU 32/2004 dengan mengembalikan kekuasaan secara penuh kepada pemerintah desa/kepala desa (resentralisasi).
Sistem demokrasi representatif ke demokrasi deliberatif
Salah satu tanda perubahan itu adalah dengan mengganti sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan. Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislative desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa. Lalu, karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa. Kepala desa justru bertanggung jawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekedar memberi keterangan pertanggungjawaban. Demokrasi deliberatif tentu tidak berarti lebih buruk dari demokrasi refresentatif, hanya saja esensi demokrasi ini belum dipahami dan dijalankan sepenuhnya oleh daerah dan desa dalam arti masih dilaksanakan secara terbatas. Musyawarah adalah baik, tetapi siapa menentukan agenda, peserta dan proses musyawarah masih sangat didominasi oleh kepala desa atau elit desa setempat, dan tentu saja dengan jumlah peserta yang masih sangat terbatas.
Ruang lingkup pengaturan desa
Naskah akademik ini disusun dengan visi membangun desa mandiri, demokratis, dan sejahtera dan dalam konteks keanekaragaman model desa di Indonesia. Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia. Dari aspek historis dan budaya, ada desa yang memiliki tradisi adat yang kuat dan mampu melampaui fungsi-fungsi pemerintah desa secara formal maka disebutlah ini sebagai self governing community atau kemampuan masyarakat memerintah diri mereka sendiri berdasarkan kearifan lokal mereka. Lalu, sistem local state government yang selama ini diterapkan dimana negara memberi penyeragaman model pemerintahan desa yang secara vertikal diatur dari atas. Terakhir adalah sistem local self government atau desa otonom, dimana desa memiliki otonominya sendiri dan memperoleh kewenangan langsung dari pusat atau meminjam istilah orde baru, desa menjadi daerah tingkat III atau Desa Praja sebagaimana diatur pada tahun 1965 melalui UU no. 19/1965.
Keanekaragaman juga dapat dilihat melalui tipologi desa di Indonesia, yakni desa dengan tradisi adat yang kuat (seperti Kajang dan wilayah pedalaman Papua), desa dengan tradisi adat yang hilang atau lemah (Jawa, sebagian Sulawesi dan Kalimantan), desa dan adat terintegrasi (Sumatera Barat dengan Nagari, dan sebagian Sulawesi Tengah), desa dan adat eksis tapi konfliktual (Bali, NTT, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat), desa dan adat tidak eksis (kelurahan).
Dengan memperhatikan aspek keanekaragaman itulah maka dalam naskah akademis itu diperkenalkan konsep optional village dimana desa dapat memilih beberapa ketentuan atau skema dalam manajemen pemerintahan desa. Beberapa skema yang ditawarkan adalah memberikan daftar kewenangan desa (positive list) sehingga desa dapat memilih jenis kewenangan yang sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya. Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD. Termasuk disini struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam. Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD.
Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki. Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumberdaya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah. Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negative feodalisme tidak serta merta memperoleh justifikasi sebagai ‘kearifan lokal’ dan olehnya harus ditetapkan standard kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas. Untuk itu dengan dua azas yang akan berlaku di desa yakni azas rekognisi atau pengakuan akan hak asal-usul desa dan azas subsidiaritas atau azas membangun desa berdasarkan kebijakan yang disusun secara lokal tanpa ada koneksitas dengan negara, maka desa akan menjalankan sistem pemerintahannya secara mandiri. Kedua azas ini berkorelasi langsung dengan jenis kewenangan di desa kedepan yakni kewenangan asal-usul yang diakui negara untuk mengelola asset dalam wilayah yurisdiksi desa dan kewenangan melekat atau atributif untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Disamping itu dikenal juga satu kewenangan tambahan yakni kewenangan delegatif dari pemerintah pusat atau daerah yang disertai oleh pembiayaan, personil dan fasilitas.
Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, sorotan naskah akademis ini adalah pada BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya. Konsepsi demokrasi representative dan deliberative dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat dimana pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut. Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung 3 kriteria partisipasi seperti voice, acsess, dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat ditengah musyawarah desa, juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi. Sementara itu untuk peraturan desa tidak ada perubahan yang mendasar dibandingkan dengan UU sebelumnya.
Untuk perencanaan pembangunan dan keuangan desa terdapat korelasi positif. Perencanaan desa sudah saatnya dilakukan secara mandiri tanpa melalui mekanisme musrembangdes sebagaimana diatur sekarang ini. Kegagalan mekanisme musrembangdes yang disinyalir bottom up planning sistem bukan rahasia lagi, karena hampir seluruh desa di Indonesia kecewa ketika hasil perencanaan mereka selalu ditolak di level kabupaten dengan alasan klasik bahwa perencanaan desa adalah daftar usulan kepala desa. Padahal beberapa desa telah bersusah payah mengumpulkan warga dimulai dari level dusun hingga desa menyusun rencana tersebut. Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa. Hanya saja kerangka hukum ADD perlu dipertegas dalam UU baru dan seharusnya ditransfer langsung dari APBN dan bukan melalui APBD sebagaimana kini berlaku. RUU desa ke depan akan memperkenalkan empat model transfer uang yang masuk ke desa yakni investasi dari pemerintah, ADD, akselerasi, dan insentif. Untuk kerjasama desa, kelembagaan kemasyarakatan, serta pengawasan dan pembinaan tidak ada perubahan prinsipil selain perlunya memantapkan aspek musyawarah dalam pembentukan kelembagaan masyarakat desa, mekanisme dan tujuan kerjasama antar desa dan menjadikan fungsi pengawasan atas kinerja desa juga berada di bawah pemerintah pusat, daerah maupun kecamatan.
Lalu, akankah desa ke depan dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi, kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional? Tentu saja masih harus menunggu masa yang panjang, mengingat nasib desa selama ini tidaklah benar-benar diperhatikan sebagai ujung tombak bagi gerakan transformasi sosial di Indonesia.
Oleh Ishak Salim*
* Penulis adalah alumni Institute of Social Studies (ISS) program master developmental studies, The Hague-the Netherlands
Ditulis dalam Wacana Otonomi Desa
0 comments:
Post a Comment