
BI Pertahankan Suku Bunga 9,5%

”Bank Indonesia memandang penting untuk menjaga kebijakan moneter yang tepat, sehingga dapat mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter,” kata Gubernur BI Boediono seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Gedung BI, kemarin.
Menurutnya, BI menilai meski tekanan inflasi mulai berkurang namun masih tetap tinggi yaitu 11,77 persen (YoY). Dalam dua bulan ke depan, risiko tekanan inflasi masih cukup tinggi dan diperkirakan pada akhir tahun inflasi akan berada pada level 11,5 persen hingga 12,5 persen (YoY).
Sedangkan pelemahan nilai tukar rupiah direspons BI dengan hati-hati agar tidak terjadi gejolak yang tajam.
”Bank Indonesia senantiasa melakukan kebijakan stabilisasi rupiah yang diarahkan pada upaya menghindari gejolak nilai tukar yang terlalu tajam,” tuturnya.
Dia juga menegaskan, bahwa gejolak perlambatan ekonomi dunia semakin nyata seiring dengan gejolak keuangan global perlu direspons secara tepat. ”Untuk itu Bank Indonesia akan mengoptimalkan penggunaan seluruh instrumen kebijakan moneter yang tersedia, sembari terus melakukan koordinasi dengan pemerintah mencermati perkembangan dan prospek perekonomian global, regional dan domestik. Terutama untuk mengamankan stabilitas ekonomi jangka menengah,” paparnya.
Sepanjang 2008 BI rate telah naik 150 basis poin. Sejak Januari hingga April 2008, BI rate berada pada level 8,0 persen. BI rate mulai merangkak naik pada Mei hingga Oktober 2008 sebesar 0,25 persen. Pada Mei, BI rate sebesar 8,25 persen, sedangkan Oktober, BI rate telah mencapai 9,5 persen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Hartadi A Sarwono mengatakan pihaknya mewaspadai pelemahan rupiah yang berdampak pada tekanan inflasi pada akhir tahun ini.
”Yang patut terus kita jaga adalah dampak dari depresiasi (pelemahan) nilai tukar, karena dia satu-satunya sekarang yang akan membawa inflasi ke atas,”ujarnya.
Nilai Tukar
Namun demikian, dia memperkirakan dampak dari nilai tukar tidak terlalu besar karena telah ada penyesuaian pada impor. ”Beberapa bulan lalu masih tinggi, karena impor tinggi. Tapi sekarang impor sudah cenderung menurun. Sehingga dampak dari depresiasi nilai tukar diharapkan tidak terlalu besar,”ungkapnya.
Hartadi melanjutkan, bahwa belum lengkapnya informasi dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi ke depan tersebut membuat pihaknya memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan BI rate pada level 9,5 persen.
”Jadi sebelum semua terlihat dengan nyata membawa inflasi ke bawah, kita putuskan supaya kita stay (bertahan pada 9,5 persen) dulu. Kemudian kita mengubah atau melakukan adjustment setelah informasi kita lebih lengkap,” kilahnya. (suaramerdeka.com/bn-59)
0 comments:
Post a Comment