METAMORFOSIS

:::Hanya catatan kecil & kliping artikel:::

More About Me...

hanya seorang anak manusia yang sedang belajar memaknai hidup, tapi ada yang pernah bilang "jangan hanya bisa mencari makna, tapi lakukan sesuatu untuk menemukannya", dan ada lagi yang bilang bahwa manusia yang hanya berorientasi pada makna maka dia akan selalu terjebak di masa lalunya dan selalu ragu dengan masa depannya. akhirnya saya memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya, biar lebih hidup!

Another Tit-Bit...

seseorang pernah mengatakan "kalo ada sesuatu yang bisa dilakukan sekecil apapun, jika diawali dengan baik mungkin hasilnya akan besar"

PERENCANAAN TATA RUANG BERVISI LINGKUNGAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN RUANG YANG NYAMAN, PRODUKTIF, DAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN
Ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi.


Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan.


Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.

Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.


Dalam proses pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini, di samping telah mencapai berbagai kemajuan di segala bidang, tidak dapat dipungkiri masing menyisakan permasalahan yang justru bersifat kontra-produktif dalam upaya perwujudan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Berbagai isu strategis yang kita hadapi saat ini antara lain adalah:
a. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali, baik di kawasan lindung maupun kawasan budidaya yang berdampak pada rusaknya keseimbangan ekosistem dan penurunan produktivitas. Data di P. Jawa menunjukkan selama periode 1979-1999 terjadi alih fungsi kawasan berfungsi lindung menjadi kawasan budidaya (industri, perumahan, pertanian) seluas 1.002.005 hektar atau + 50.000 hektar per tahun. Khusus untuk kawasan hutan lindung laju kerusakannya di Pulau Jawa mencapai + 19.000 hektar per tahun selama periode 1992-1999. Sementara di P. Sulawesi terjadi kerusakan seluas + 29.500 hektar per tahun dalam periode 1998-2000. Untuk kawasan budidaya, berdasarkan data sensus pertanian tahun 1983 dan 1993, selama kurun waktu tersebut terjadi alih fungsi lahan pertanian produktif di Pulau Jawa mencapai 40.000 hektar per tahun.
b. Semakin meningkatnya intensitas dan cakupan bencana alam, terutama banjir dan tanah longsor, yang secara langsung mengancam kehidupan manusia, kegiatan usaha, serta sarana dan prasarana. Fenomena bencana banjir dan tanah longsor terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia seperti banjir bandang di Kali Dawuhan (Jawa Timur) pada Desember 2002, di Kab. Langkat (Sumatera Utara) pada November 2003, di Kutacane (NAD) pada Oktober 2005, tanah longsor di Jember (Jawa Timur) dan di Banjarnegara pada awal Januari 2006, dan tanah longsor di Manado (Sulawesi Utara) pada pertengahan Februari 2006.
c. Semakin meningkatnya intensitas kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan, yang berdampak pada inefisiensi koleksi dan distribusi barang dan jasa yang pada gilirannya dapat menurunkan daya saing kawasan dan produk yang dihasilkan.
d. Semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terutama di kawasan perkotaan, yang berakibat pada penurunan kualitas lingkungan. Sebagai contoh, berdasarkan data tahun 1998 kandungan zat-zat berbahaya (NOx dan COx) di udara telah melampaui batas-batas yang diijinkan (260 mikrogram /m3), terutama di Medan (317,55 mikrogram /m3), Palembang (447,95 mikrogram /m3), Denpasar (397,42 mikrogram/m3), dan Jakarta (599,33 mikrogram /m3).
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa upaya mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan masih menghadapi tantangan yang berat di masa mendatang.


Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas, penataan ruang yang mencakup tahapan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu pendekatan yang diyakini dapat mewujudkan keinginan akan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Melalui pendekatan penataan ruang, ruang kehidupan direncanakan menurut kaidah-kaidah yang menjamin tingkat produktivitas yang optimal dengan tetep memperhatkan aspek keberlanjutan agar memberikan kenyamanan bagi masyarakat penhuninya. Selanjutnya rencana tersebut menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan yang diikuti dengan upaya pengendalian agar pemanfaatan ruang yang berkembang tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.


Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana tahap perencanaan tata ruang dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Penekanan pada tahap perencanaan mengingat tahap ini merupakan kunci utama dalam penyelenggaraan penataan ruang.


II. PROSES PENATAAN RUANG
Sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya, penataan ruang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bagian ini akan mendeskriipsikan secara garis besar ketiga tahapan tersebut, untuk memberikan pemahaman tentang penataan ruang secara umum sebelum pembahasan tentang perencanaan tata ruang bervisi lingkungan.


A. Tahap Perencanaan Tata Ruang
Berdasarkan pengertian dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata ruang.


Rencana tata ruang berisi rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistem pusat-pusat permukiman, sistem jaringan transportasi (darat, laut, udara), sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan prasarana sumber daya air yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang untuk berbagai kegiatan baik peruntukan ruang untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya.

Menurut tingkat administrasi pemerintahan, perencanaan tata ruang dilaksanakan secara berhirarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Dikaitkan dengan substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem provinsi dengan memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. Sementara RTRWK berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki di atasnya. Rencana tata ruang yang berhirarki ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan, untuk menghindari tumpang tindih pengaturan pada obyek yang sama. Dengan kata lain, perencanaan yang berhirarki harus memenuhi prinsip saling melengkapi (komplementer).


Untuk keperluan operasionalisasi, rencana tata ruang wilayah pada setiap tingkat administrasi perlu dijabarkan dalam rencana detail yang disusun dengan kedalaman pengaturan dan skala peta yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan berpedoman pada prinsip saling melengkapi, rencana detail tata ruang yang disusun hanya menjabarkan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang wilayah. Artinya, rencana detail dari RTRWN hanya menjabarkan operasionalisasi dari pengembangan sistem nasional yang telah diatur dalam RTRWN. Dengan demikian rencana detail dari RTRWN tidak memuat substansi pengaturan yang menurut sifatnya adalah muatan dari rencana tata ruang wilayah pada hirarki yang lebih rendah (RTRWP dan RTRWK).


Rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang yang telah disusun selanjutnya ditetapkan sebagai produk yang mengikat pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (RTRWN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, RTRWP dan RTRWK ditetapkan dengan Peraturan Daerah). Sebagai sebuah ketentuan yang mengikat, rencana tata ruang selanjutnya menjadi pedoman dalam proses pembangunan yang terkait dengan pengembangan struktur ruang dan pembentukan pola pemanfaatan ruang di wilayah perencanaan.


Mengingat penataan ruang menyangkut kepentingan banyak pihak yang tidak terbatas pada lingkungan pemerintahan saja, proses penyusunan rencana tata ruang pun harus dilaksanakan dengan pendekatan patisipatif melalui pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan. Hal ini dimaksudkan agar rencana tata ruang yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai produk kesepakatan antar-pemangku kepentingan sehingga dapat diimplementasikan secara efektif. Dalam proses ini, peran masyarakat tidak dapat diabaikan, mengingat masyarakat merupakan obyek dan subyek utama dalam penyelenggaraan penataan ruang. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang telah diatur secara tegas dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang dan PP 69/1996 Tentang Pelaksanaan Hal dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.


Selanjutnya perlu digarisbawahi bahwa pembangunan di suatu wilayah tidak dapat dilepaskan dari wilayah lainnya, mengingat adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh karenanya perencanaan tata ruang tidak dapat dilaksanakan hanya dengan memperhatikan kepentingan internal (inward looking), tetapi juga harus memperhatikan pengaruh wilayah lain serta dampak terhadap wilayah lain.


Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rencana tata ruang merupapakan instrumen bagi perwujudan keterpaduan pembangunan, baik keterpaduan antar-tingkat pemerintahan maupun antar-pemangku kepentingan.


B. Tahap Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.


Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam penyusunan dan pelaksanaan program masing-masing pemangku kepentingan tetap harus melakukan koordinasi dan sinkronisasi untuk menciptakan sinergi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.


Koordinasi antar-pemangku kepentingan merupakan satu elemen dasar dalam penyelenggaraan penataan ruang yang efektif (dalam pencapaian tujuan) dan efisien (dalam pemanfaatan sumber daya), namun dalam praktiknya hal ini masih sulit untuk diwujudkan. Ego sektoral dan keengganan untuk memahami kepentingan sektor lain dirasa sebagai salah satu penghambat upaya mewujudkan sinergi di kalangan instansi pemerintah. Hal ini tercermin dari masih adanya konflik pemanfaatan ruang antar-sektor dan antar-daerah, serta kurangnya keterpaduan dalam pembangunan infrastruktur wilayah antara satu daerah dengan daerah lainnya.


Dalam rangka pemanfaatan ruang, para pemangku kepentingan (termasuk masyarakat dan dunia usaha) dituntut untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang mencakup jenis dan besaran program, lokasi pembangunan, serta pembagian peran dan tanggung jawab termasuk pembagian/sharing pembiayaan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan misalnya, perlu dikoordinasikan dengan sektor-sektor yang akan memanfaatkan jalan, sehingga jaringan jalan yang dibangun dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada sekedar menghubungkan dua titik.


Selain masalah koordinasi, permasalahan yang berkaitan dengan konsistensi dalam menjadikan rencana tata ruang sebagai acuan pembangunan juga masih banyak dijumpai. Dalam beberapa kasus dapat kita lihat rencana tata ruang justru dikorbankan ketika terdapat keinginan untuk melaksanakan pembangunan yang sebenarnya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Minat investasi seringkali justru dipandang sebagai dasar untuk merubah/merevisi rencana tata ruang. Akibatnya rencana tata ruang tidak lagi berfungsi untuk mengarahkan lokasi investasi, tetapi sebaliknya menjadi piranti yang dapat disesuaikan sebagai pembenaran bagi kegiatan investasi.


Tidak dapat dipungkiri bahwa peran masyarakat dan dunia usaha merupakan faktor penting dalam pemanfaatan ruang mengingat keterbatasan pembiayaan yang dimiliki pemerintah. Namun hal ini tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan perubahan rencana tata ruang. Sebaliknya, dalam rangka perwujudan rencana tata ruang perlu disusun berbagai perangkat yang dapat mendorong pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang dan mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari rencana tata ruang atau yang dikenal dengan istilah mekanisme insentif dan disinsentif. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan tentang pengendalian pemanfaatan ruang di bagian berikut.


C. Tahap Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk megarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.


Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang harus dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi bukan merupakan hal baru, karena dalam selama ini kita telah mengenal adanya ketentuan mengenai Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Garis Sempadan Jalan (GSJ), ketentuan penyediaan lahan parkir, dan berbagai ketentuan lain yang diterapkan pada suatu zona peruntukan. Ketentuan-ketentuan tersebut disusun dalam rangka menjamin agar pemanfaatan ruang yang berkembang tetap memenuhi ketentuan-ketentuan dalam rencana tata ruang.


Perizinan adalah proses memberi atau menolak permohonan pemanfaatan ruang berdasarkan kesesuaiannya dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam hal ini izin pemanfaatan ruang hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.


Pemantauan dan evaluasi adalah proses untuk mengamati dan memeriksa kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang dilaksanakan secara terus menerus. Dalam hal hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya pelanggaran rencana tata ruang, maka pemerintah harus mengambil langkah penyelesaian berupa tindakan memeriksa kebenaran indikasi tersebut dan, apabila indikasi tersebut terbukti benar, mengambil langkah penertiban yang diperlukan.


Penertiban merupakan tindakan nyata memberikan sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang terjadi yang dimaksudkan sebagai tindakan agar pemanfaatan ruang yang direnanakan dapat terwujud. Pemberian sanksi tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, penolakan atau pembatalan izin, pembongkaran bangunan, dan/atau pemulihan fungsi ruang, yang diberikan berdasarkan bobot pelanggaran yang terjadi.


Di samping itu, sebagaimana telah disampaikan di atas, dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dikembangkan perangkat insentif dan disinsentif yang diterapkan dengan tetap memperhatikan hak penduduk sebagai warga negara. Perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan dengan tujuan rencana tata ruang. Beberapa contoh perangkat insentif yang dapat diterapkan antara lain adalah:
a. di bidang ekonomi melalui tatacara pemberian kompensasi, imbalan, dan tatacara penyelenggaraan sewa ruang atau urun saham;
b. di bidang fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon, dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata ruang.
Adapun perangkat disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, misalnya dalam bentuk pengenaan pajak yang tinggi atau ketiadaan sarana dan prasarana.


III. VISI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERENCANAAN TATA RUANG
Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dengan demikian aspek keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability) merupakan salah satu prinsip yang inheren dalam setiap tahapan penataan ruang.

Perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti pendekatan bio-region dalam penetapan batas wilayah analisisnya. Dengan pendekatan ini, keterkaitan antara wilayah/kawasan yang direncanakan dengan wilayah/kawasan lain dalam satu sistem ekologi (ekosistem) dianalisia. Analisis ini mencakup pengaruh yang diterima maupun dampak yang ditimbulkan dari proses pembangunan yang dilaksankan berdasarkan rencana tata ruang yang disusun. Hal ini secara tegas telah diatur dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang di mana dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) disusun dengan memperhatikan RTRWP lainnya yang berbatasan. Demikian pula dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) ditegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) disusun dengan memperhatikan RTRWK lainnya yang berbatasan. Ketentuan tersebut secara langsung mengamanatkan pentingnya integrasi perencanaan tata ruang antar-daerah yang saling berbatasan, yang besar kemungkinannya berada dalam satu ekosistem.


Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antar-daerah dalam satu ekosistem dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosistem, tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Pengabaian terhadap priinsip ini akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain, misalnya di wilayah hilir apabila perencanaan di wilayah hulu tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari implementasi rencana tata ruangnya terhadap wilayah hilir.


Di samping keterpaduan antar-daerah dalam satu ekosistem, perencanaan tata ruang juga harus disusun dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang. Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak sampai melampau batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem.


Sebagaimana telah disampaikan pada bagian sebelumnya, rencana tata ruang juga mencakup arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan-kawasan berfungsi lindung. Pengaturan arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dimaksudkan agar:
a. Kawasan-kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan budidaya (kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya) tetap terjaga keberadaannya, sehingga kawasan budidaya dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, termasuk kebutuhan bagi generasi yang akan datang.
b. Kawasan-kawasan yang secara spesifik perlu dilindungi untuk kepentingan pelestarian flora dan fauna (plasma nuftah), pelestarian warisan budaya bangsa, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kepentingan lainnya dapat tetap dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.


Terkait dengan upaya menjamin keberadaan kawasan lindung, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah dirumuskan strategi untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung baik di ruang daratan, di ruang lautan dan ruang udara;
b. mempertahankan luas kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau pada tingkat sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya;
c. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup melalui perlindungan kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara secara serasi dan selaras;
d. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.


Selanjutnya dalam Rancangan Peraturan Peraturan Presiden Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau, yang telah disepakati dengan jajaran pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya, diatur luas kawasan lindung untuk Pulau Sumatera sekurang-kurangnya 40% (empat puluh persen), Pulau Sulawesi sekurang-kurangnya 40% (empat puluh persen), dan Papua sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari wilayah pulau. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang besar dari para pemangku kepentingan terhadap keberlanjutan lingkungan hidup di tiap wilayah perencanaan.


Rencana tata ruang secara berhiraki (RTRWN, RTRWP, dan RTRWK) juga memuat kriteria dan norma pengelolaan kawasan lindung, arahan pengelolaan kawasan lindung, dan pola pengelolaan kawasan lindung. Adanya pengaturan berjenjang ini dimaksudkan agar upaya untuk mempertahankan kawasan-kawasan yang memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung dapat dilaksanakan secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia.


Dalam upaya menerapkan prinsip keberlanjutan sebagaimana di atas, perhatian terhadap aspek teknologi merupakan hal yang sangat penting mengingat pertimbangan-pertimbangan berikut:
a. Teknologi dapat membantu dalam menganalisis secara lebih akurat daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah perencanaan.
b. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk melakukan simulasi tentang pengaruh dari tingkat perkembangan wilayah (sebagai hasil implementasi rencana tata ruang) terhadap keseimbangan ekosistem.
c. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi bagian-bagian dari wilayah perencanaan yang sensitif dan memerlukan perlindungan yang perlu diakomodasi dalam rencana tata ruang.
d. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tampung lingkungan, misalnya pemanfaatan teknologi bangunan bertingkat dapat meningkatkan kapasitas ruang kegiatan budidaya, dengan tetap mempertahankan ketersediaan ruang terbuka yang berfungsi lindung.


Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, perencanaan tata ruang perlu mempertimbangkan aspek ketersediaan dan penguasaan teknologi yang dapat dimanfaatkan, termasuk teknologi pemanfaatan ruang.


Dalam tataran yang lebih operasional, saat ini berkembang wacana untuk menjamin ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan cenderung semakin menurun dan berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidup.


Sebagai sebuah komponen penting dalam perwujudan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan, keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan perlu diatur agar tidak terabaikan dan termarjinalisasi oleh kegiatan-kegiatan budidaya yang dipandang mampu memberikan keuntungan ekonomis secara nyata dan cepat. Untuk itu dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang telah dirumuskan agar proporsi ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan, dimana sepertiga di antaranya merupakan ruang terbuka hijau publik dan sisanya menempati ruang-ruang privat (melalui pengaturan koefisien dasar bangunan).


Berbagai deskripsi di atas memberikan gambaran bahwa sesungguhnya visi keberlanjutan lingkungan hidup bukan merupakan hal baru dalam perencanaan tata ruang. Fakta yang menunjukkan bahwa visi lingkungan kurang terlihat dalam wujud tata ruang yang terbentuk bukan disebabkan oleh tidak adanya visi lingkungan, tetapi lebih disebabkan oleh faktor lain seperti:
a. Kurangnya pemahaman para pemangku kepentingan akan pentingnya aspek keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability), terutama dalam tahap implementasi rencana tata ruang.
b. Adanya kebutuhan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berdampak pada pemberian izin pemanfaatan ruang yang melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan, termasuk alih fungsi lahan dari kawasan berfungsi lindung menjadi lahan budidaya.
c. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, akibat dari kurang tegasnya pengaturan sanksi dalam Undang-Undang Penataan Ruang.


Oleh karena itu upaya untuk merevitalisasi rencana tata ruang dalam rangka menjamin keberadaan kawasan lindung pada umumnya dan untuk pengendalian bencana longsor pada khususnya, tidak hanya perlu dilakukan dalam penguatan substansi perencanaan, tetapi juga harus menyentuh aspek-aspek lain di luar perencanaan tata ruang, antara lain:
a. Peningkatan kesadaran para pemangku kepentingan terhadap pentingnya aspek keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability) dalam penyelenggaraan penataan ruang.
b. Peningkatan kerjasama antar-daerah dalam rangka mewujudkan keseimbangan ekosistem yang terdiri dari beberapa daerah administrasi, baik dalam tahapan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
c. Pengembangan perangkat insentif dan disinsetif yang dapat secara efektif mendorong pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang sekaligus mencegah dan mengurangi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
d. Mempertegas ketentuan mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap setiap pelanggaran rencana tata ruang yang terjadi, yang diikuti dengan upaya penegakan hukum secara tegas dan konsisten agar menimbulkan efek jera di kalangan pemanfaat ruang yang cenderung melanggar ketentuan rencana tata ruang. Upaya ini telah dilakukan Pemerintah melalui perumusan sanksi administratif yang lebih tegas dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang yang diajukan kepada DPR-RI sebagai pengganti UU No.24/1992 Tentang Penataan Ruang.


IV. KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Tujuan dari pelaksanaan pembangunan dari sudut pandang penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Pencapaian tujuan ini dipandang masing menghadapi kendala sehubungan dengan masih adanya berbagai permasalahan penataan ruang seperti alih fungsi lahan secara tidak terkendali, peningkatan frekuensi dan cakupan bencana banjir dan longsor, kemacetan lalu lintas, dan penurunan kualitas lingkungan hidup terutama di kawasan perkotaan.
2. Pendekatan penataan ruang diyakini dapat mewujudkan keinginan akan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan melalui tahapan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
3. Rencana tata ruang merupakan landasan bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang, yang disusun dengan pendekatan partisipatif dengan memperhatikan keterkaitan antara wilayah perencanaan dengan wilayah yang lebih luas dalam satu kesatuan ekosistem.
4. Pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang merupakan upaya mewujudkan arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang termuat dalam rencana tata ruang yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan tersinkronisasi antar pemangku kepentingan dalam rangka mewujudkan sinergi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
5. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk menjamin agar pemanfaatan ruang yang berkembang tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemantauan dan evaluas, dan penertiban.
6. Visi keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability) merupakan bagian yang inheren dalam setiap tahapan penataan ruang, termasuk dalam perencanaan tata ruang. Pendekatan bio-region, perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta upaya untuk mempertahankan keberadaan kawasan lindung telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses perencanaan tata ruang di setiap tingkatan (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota).
7. Di samping diperlukan penguatan substansi perencanaan agar lebih mempunyai visi lingkungan, revitalisasi rencana tata ruang juga perlu didukung upaya peningkatan kesadaran pemangku kepentingan terhadap pentingnyan aspek keberlanjutan lingkungan hidup dalam penataan ruang, peningkatan kerjasama antar-daerah, pengembangan perangkat insentif-disinsentif, serta pengaturan sanksi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang.

(A. Hermanto Dardak)

0 comments:

Post a Comment